JAKARTA, KOMPAS.com — Kementerian Perindustrian mendorong pelaku industri untuk melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang mereka hasilkan melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas). Imbauan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian Nomor 2 Tahun 2025.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya Indonesia mencapai target Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) 2030, yaitu komitmen penurunan emisi GRK secara nasional.
Hal ini disampaikan oleh Istifari Azizah, Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Pertama di Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, dalam acara Diskusi Kebijakan Pengurangan Emisi dan Lokakarya Perhitungan Emisi Industri: Industri Pengolahan Gula dan Minyak Goreng yang diselenggarakan oleh IESR, Kamis (10/7/2025).
“Penurunan emisi ini dibagi ke dalam lima sektor utama: energi, limbah, proses dan penggunaan produk industri (IPPU), kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (FOLU),” jelas Istifari.
Untuk sektor IPPU sendiri, target penurunan emisinya sebesar 7 juta ton CO? ekuivalen. Sejauh ini, kontribusi terbesar datang dari industri semen dan pupuk, yang sudah berhasil mencapai angka tersebut. Namun demikian, kontribusi dari subsektor lain masih sangat dibutuhkan.
“Misalnya dari industri minyak goreng, serta industri Gula Kristal Rafinasi (GKR) dan Gula Kristal Putih (GKP),” tambahnya.
Baca juga: Banyak Klaim Berlebihan, Perlu Metode Tepat Pengurangan Emisi Karbon
Ketiga subsektor ini juga termasuk dalam prioritas program dekarbonisasi industri, mengingat sektor pengolahan dan manufaktur menyumbang sekitar 28 persen dari total emisi GRK nasional.
Untuk mendukung pelaporan yang lebih sistematis dan terpusat, pemerintah menetapkan SIINas sebagai platform resmi.
Menurut Istifari, sistem ini memungkinkan data pelaporan industri menjadi lebih konsisten, terverifikasi, dan dapat diakses oleh pemerintah sebagai dasar penyusunan kebijakan pengurangan emisi yang lebih menyeluruh.
“Data ini nantinya juga akan digunakan dalam perancangan mekanisme perdagangan karbon di sektor industri,” jelasnya.
Saat ini, Kemenperin tengah memprioritaskan empat subsektor: semen, pupuk, pulp dan kertas, serta logam. Keempatnya menjadi titik awal penerapan kewajiban pelaporan emisi, meski tidak semua perusahaan dalam subsektor tersebut langsung diwajibkan.
“Nanti akan diterapkan sistem ambang batas atau single threshold, artinya hanya perusahaan yang emisinya melebihi batas tertentu yang akan dikenakan kewajiban pelaporan,” ujarnya.
Meski demikian, pelaksanaan kebijakan ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu hambatan utama adalah rendahnya pemahaman teknis pelaku industri dalam melakukan perhitungan emisi, terutama dari subsektor prioritas baru seperti industri minyak goreng dan pengolahan gula.
“Jadi sebelum melapor, kita juga harus memastikan bahwa industri itu punya pemahaman terkait perhitungan emisi,” tutur Istifari.
Karena itu, pemerintah terus melakukan pendampingan teknis dan peningkatan kapasitas melalui berbagai bimbingan teknis dan lokakarya, agar industri bisa rutin melaporkan data emisinya dengan baik.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya