JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syaiful Bakhri, mengungkapkan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN menjadi sumber energi yang lebih murah dibandingan batu bara.
Di Jepang, kata dia, biaya listrik sebesar 1 megawatt hour (MWh) dari PLTN sebesar 61,2 dollar AS.
"Sementara menggunakan batu bara, biaya yang dibutuhkan mencapai 87,6 dollar AS, dan perhitungan ini menggunakan faktor diskonto (angka yang menunjukkan nilai aset saat ini dengan yang diharapkan pada masa depan) sebesar 3 persen,” ujar Syaiful dalam keterangannya, Selasa (15/7/2025).
Dia menjelaskan, walaupun faktor diskonto atau pemotongan dinaikkan menjadi 7 persen, biaya pembangkit listrik dengan nuklir tetap lebih murah ketimbang batu bara.
Baca juga: Indonesia Siap Bangun PLTN, Bagaimana Mitigasi Pembuangan Limbahnya?
Di sisi lain, Syaiful menyampaikan pembangunan PLTN bergantung pada negara masing-masing. Amerika Serikat menjadi negara dengan biaya pembangunan PLTN tertinggi yang mencapai 12.000 dolar AS per kilowatt (kW).
Sedangkan biaya terendah ialah China yaitu 1.800-5.000 dollar AS per kW.
“Dari sisi struktur biaya, sektor tenaga kerja menyumbang sekitar 25 persen dari total biaya pembangunan PLTN. Faktor terbesar kedua adalah biaya peralatan, sekitar 16 persen," tutur Syaiful.
"Selain itu, keterlambatan konstruksi juga menjadi salah satu penyebab utama pembengkakan biaya pembangunan,” imbuh dia.
Baca juga: China Berniat Bangun PLTN di Bulan Bareng Rusia, Ini Alasannya
Periset Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir BRIN, Kurnia Azhar, menerangkan, harga listrik yang bersumber dari PLTN sangat dipengaruhi pola pembiayaan selama masa konstruksi. Biaya energi makin menurun jika pembangkit memiliki faktor kapasitas di atas 80 persen.
“Semakin tinggi faktor kapasitas dan efisiensi operasi, maka semakin murah harga listrik yang dihasilkan. Semakin banyak pembangkit bersih dan stabil seperti PLTN atau hidro besar yang masuk ke dalam sistem kelistrikan, semakin efisien sistem secara keseluruhan," ucap Kurnia.
Syaiful menyatakan, saat ini permintaan listrik di dunia akan meningkat seiring naiknya jumlah mobil listrik (EV). Menurut dia, PLTN merupakan pembangkit energi yang bersih dan bisa menjadi bagian dalam transisi energi salah satunya menyediakan listrik untuk EV.
“Mobil listrik dan energi nuklir merupakan pasangan yang cocok. Energi nuklir mampu memberikan suplai listrik yang dapat diandalkan selama 24 per tujuh. Selain itu, energi nuklir mendukung stabilitas listrik dan rendah karbon,” sebut Syaiful.
Baca juga: RUPTL Segera Disahkan, Realisasi PLTN Ditarget 500 MW sampai 2035
Ia menyebut, penggunaan lahan untuk PLTN tipe small modular reactor (SMR) lebih kecil dari PLTN tradisional. Tipe SMR dinilai ideal untuk mendukung ketersediaan listrik secara luas, dan dapat diaplikasikan guna menyuplai listrik kebutuhan Industri.
Indonesia sendiri sudah bersiap mengoperasionalkan PLTN di dalam negeri.
“Jika sesuai rencana, PLTN akan mulai dibangun antara 2032-2034 dengan daya 500 MW untuk energi yang lebih bersih di 2060. PLTN rencananya akan dibangun di Sumatera dan Kalimantan,” jelas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya