JAKARTA, KOMPAS.com – Lembaga filantropi dinilai memiliki peran vital dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia. Bahkan, kiprah mereka disebut lebih terlatih dibanding negara dalam menjalankan misi kesejahteraan sosial.
Anggota Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Yudi Latif, mengatakan pengalaman panjang lembaga-lembaga filantropi menjadikan mereka lebih adaptif dalam menjangkau kelompok rentan.
“Pengalaman agen komunitas dalam urusan kesejahteraan ini sudah lama. Mereka lebih terlatih dibanding negara,” ujar Yudi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Baca juga: Para Dermawan RI Dukung Prabowo Entaskan Kemiskinan Lewat Filantropi
Menurutnya, pemenuhan hak warga negara di bidang pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Namun, realitasnya, dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, jumlah sekolah swasta masih lebih banyak daripada sekolah negeri.
“Tidak boleh urusan kesejahteraan sosial di Indonesia dimonopoli negara. Itu tidak akan sampai pada sasarannya. Lebih baik negara membackup agen komunitas,” kata Yudi.
Ia menambahkan, inisiatif masyarakat sering kali mengalami penurunan efektivitas ketika diambil alih negara. “Negara harus berutang budi dan berterima kasih kepada lembaga filantropi karena sudah membantu peran yang mestinya diambil negara,” ujarnya.
Yudi menjelaskan, secara umum terdapat tiga agen utama yang berperan dalam penanganan kemiskinan di berbagai negara, yakni agen negara, agen komunitas, dan agen pasar.
Pertama, model agen negara dapat ditemukan di negara-negara Skandinavia, di mana pemerintah menjamin pendidikan, kesehatan, dan santunan bagi warganya yang kehilangan pekerjaan.
Kedua, model agen komunitas umumnya ditemukan di negara mayoritas Katolik, di mana komunitas keagamaan berperan besar dalam distribusi kesejahteraan.
Ketiga, model agen pasar seperti di Amerika Serikat, di mana pasar menjadi motor utama kesejahteraan, sementara peran negara baru muncul ketika ada warga yang terlempar dari sistem pasar.
Baca juga: Bappenas: Potensi Filantropi Rp 600 T, Penting untuk Capai SDGs
“Urusan kesejahteraan di Amerika itu fungsi market. Itu namanya residual welfare state, negara-negara seperti itu tidak paham urusan kesejahteraan warganya,” kata Yudi.
Indonesia, lanjut Yudi, mengadopsi model campuran dengan ketiga agen memiliki peran masing-masing. Namun, berdasarkan sejarah sosial dan budaya, agen komunitas cenderung lebih dominan.
Mengutip antropolog Clifford Geertz, Yudi menyebut Indonesia sebagai “anggur tua dalam botol baru” atau “masyarakat lama dalam negara baru”.
“Muhammadiyah usianya lebih tua daripada Republik ini. Kekuatan perubahan lebih banyak ada di elemen masyarakat. Negara baru mulai berlatih mengatasi kemiskinan sejak 1945, itu pun penuh trial and error, perubahan politik terus-menerus, dan proses belajarnya tertatih-tatih,” ujar Yudi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya