Selain pengelolaan limbah padat, perusahaan juga menangani air lindi yang dihasilkan dari tumpukan sampah. Fasilitas Leachate Treatment Plant (LTP) berfungsi mengolah air lindi menjadi air layak guna melalui proses filtrasi. Sistem ini menggunakan reaktor pengaduk yang beroperasi selama 24 jam untuk mengendapkan dan menyaring kontaminan.
Baca juga: Vale Indonesia Lakukan Reklamasi 3.791 Hektare Lahan Tambang di Sulsel
“Air lindi kami kelola dengan sistem filterisasi. Setelah bersih, air itu kami salurkan ke tangki untuk digunakan kembali,” jelas Hery.
Air hasil olahan pun tidak terbuang percuma. PT Vale memanfaatkannya untuk penyiraman jalan di kawasan tambang guna mengurangi debu sesuai izin yang dimiliki, terutama saat cuaca kering. Langkah ini menjadi bagian dari penerapan prinsip sirkular ekonomi yang meminimalkan limbah dan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya.
Selain pengelolaan air lindi, inovasi lain yang lahir dari unit segregation adalah pemanfaatan sampah organik melalui budi daya maggot.
Beberapa langkah dari area pemilahan, sebuah ruangan berdinding jaring bertuliskan “Budidaya Maggot (BSF)” menjadi titik perhatian lain. Di dalamnya, terdapat kotak-kotak kayu berisi sampah organik yang sedang diurai ribuan maggot.
Baca juga: 19 Tahun Perjalanan Himalaya Hill, dari Lahan Tambang Tandus Jadi Arboretum Hijau
"Hadirnya Unit Segregation Plant tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga memungkinkan kami melakukan budi daya maggot. Untuk sementara yang mengambil (maggot adalah) tim nursery karena bank sampah belum sanggup mengelolanya," tutur Hery.
Ia melanjutkan, perusahaan tengah berencana mengembangkan fasilitas lebih lanjut. Salah satunya, pengadaan oven untuk mengolah maggot menjadi pelet siap konsumsi. Produk pelet nantinya juga akan didonasikan kepada bank sampah komunitas sebagai nilai tambah bagi masyarakat.
Keberhasilan segregasi bergantung pada kesadaran masyarakat sejak di rumah. Karena itu, Vale meluncurkan program “Emberisasi”, yaitu kebijakan yang mewajibkan karyawan memilah sampah rumah tangga mereka menggunakan wadah terpisah.
Program itu mulai diterapkan pada akhir 2024 di sekitar 100 unit rumah karyawan. Dengan memilah dari sumbernya, pengolahan di fasilitas segregasi menjadi lebih cepat dan efisien.
Baca juga: Cerita Tabarano, Desa Kering di Wasuponda yang Disulap Jadi Agrowisata
Di perumahan Vale, setiap rumah sudah memiliki tempat sampah dengan warna berbeda, seperti hijau untuk organik, biru untuk anorganik, dan kuning untuk residu.
“Kalau di kompleks karyawan, mereka sudah rutin memilah sendiri. Jadi, ketika sampai di sini, kami tidak perlu memilah ulang,” tutur Hery.
Sementara di komunitas masyarakat, Hery menilai, kesadaran pemilahan masih terus ditingkatkan melalui edukasi yang melibatkan pemerintah desa.
Kehadiran Segregation Plant merupakan bagian dari visi besar PT Vale menuju “Zero Waste to Landfill” pada 2050. Melalui penerapan prinsip Reduce, Reuse, Recycle (3R), perusahaan berupaya mengurangi secara signifikan volume sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir.
Baca juga: Merawat Ekosistem Pesisir Malili lewat Transplantasi Karang dan Restorasi Mangrove
Semua inisiatif tersebut terintegrasi dalam strategi pengelolaan sampah berbasis sirkular ekonomi. Material yang masih bernilai dikembalikan ke rantai produksi melalui bank sampah, sementara yang tidak bernilai ekonomis diolah menjadi produk bermanfaat lain.
Kehadiran Segregation Plant PT Vale Indonesia juga menjadi bukti bahwa industri tambang dapat berjalan seiring dengan tanggung jawab lingkungan. Di tempat ini, limbah bukan lagi beban, melainkan sumber daya yang memberi manfaat bagi masyarakat dan bumi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya