KOMPAS.com - Para akademisi di University of Oxford dan University of Pennsylvania telah melakukan tinjauan mengenai bukti efektivitas carbon offset.
Apa yang mereka simpulkan adalah praktik tersebut tidak efektif dan dipenuhi oleh masalah yang tidak dapat dipecahkan.
Hasil tinjauan ini dipublikasikan dalam jurnal Annual Review of Environment and Resources.
Carbon Offset adalah mekanisme di mana proyek-proyek menciptakan kredit yang diklaim setara dengan jumlah emisi gas rumah kaca (GHG) yang berhasil dikurangi, dihindari, atau dihilangkan dari atmosfer. Praktik ini pertama kali muncul pada tahun 1989.
Penulis studi mendesak agar sebagian besar skema carbon offset dihentikan, dan hanya mempertahankan kredit yang berasal dari proyek penghilangan karbon dioksida secara permanen dari atmosfer.
"Kita harus mengakhiri ekspektasi bahwa carbon offset dapat bekerja secara efektif dalam skala besar. Setelah meninjau bukti selama 25 tahun, kami menyimpulkan bahwa hampir semua upaya hingga saat ini telah gagal," ujar Dr. Stephen Lezak, peneliti dari Smith School of Enterprise and the Environment dan rekan penulis studi.
Baca juga: Kredit Karbon Dinilai Gagal Kurangi Emisi Perusahaan, Studi Ungkap
"Kegagalan pasar yang terjadi sekarang ini bukan hanya karena kesalahan beberapa pihak, tetapi disebabkan oleh masalah sistematis yang sulit diatasi, dan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan bertahap," katanya lagi seperti dikutip dari Phys, Selasa (14/10/2025).
Dr. Joseph Romm, penulis utama studi tersebut menyatakan pula bahwa ia berharap hasil studi ini dapat memberikan kejelasan sebelum COP30.
Pasalnya, credit offset yang tidak kredibel alias yang tidak didukung oleh teknologi penghilangan dan penyimpanan karbon permanen, hanyalah pengalih perhatian yang berbahaya dari solusi inti masalah iklim, yaitu upaya pengurangan emisi yang harus dilakukan secara cepat dan terus-menerus.
Lebih lanjut, masalah paling serius yang ditemukan dalam penelitian ini adalah soal menghasilkan kredit tanpa mengurangi emisi, ketidakpermanenan, kebocoran, penghitungan ganda, insentif yang menyimpang dan kemampuan untuk dimanipulasi dari sistem pengkreditan, di mana pelaku nakal secara rutin mampu mengakali aturan yang dirancang dengan baik sekalipun.
Alih-alih menyelesaikan masalah ini, Pasal 6 Perjanjian Paris, yang diselesaikan pada COP29, justru hanya mengulang prinsip-prinsip pengembangan pasar karbon yang sudah lama diabaikan, dengan harapan yang diragukan bahwa kali ini hasilnya mungkin akan berbeda secara signifikan.
Baca juga: Apakah Kredit Karbon Hutan Berfungsi dan Membantu Lingkungan?
"Terlepas dari segala upaya pengamanan, proyek carbon offset masih sering dihadapkan pada masalah akuntabilitas yang lemah. Hal ini berisiko mempertahankan praktik apropriasi yang bersifat neocolonial," papar Amna Alshamsi, peneliti doktoral di University of Sussex.
Menurutnya, meskipun proyek berbasis alam memberikan manfaat di tingkat lokal, pendanaan proyek tersebut sebaiknya tidak menggunakan skema kredit karbon.
Sebaliknya, pendanaan harus dilakukan melalui mekanisme klaim kontribusi, di mana dana diberikan sambil tetap mewajibkan entitas yang membeli untuk tetap bertanggung jawab memangkas emisi mereka sendiri.
Riset yang telah dilakukan sebelumnya mengungkapkan bahwa program carbon offset juga kerap kali menilai terlalu tinggi manfaat iklim yang mereka hasilkan. Dalam banyak kasus, klaim manfaat tersebut dilebih-lebihkan hingga 10 kali lipat atau bahkan lebih.
Para penulis menyimpulkan bahwa ke depannya, semua pasar offset wajib memprioritaskan pengembangan mekanisme Penghilangan Karbon Dioksida (CDR) yang kuat dan permanen, yang didukung oleh sistem pengukuran serta verifikasi jangka panjang.
Mereka juga menyadari bahwa teknologi CDR yang efektif dan dapat diskalakan mungkin sulit diwujudkan, dan membutuhkan investasi dan riset yang sangat intensif.
Baca juga: Gula-gula Pasar Karbon Dunia dan Pahitnya bagi Indonesia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya