Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsentrasi CO2 Naik Tertinggi Sejak 1957, Krisis Iklim Kian Serius

Kompas.com, 16 Oktober 2025, 17:09 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Guardian

KOMPAS.com - Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer telah mencatat lonjakan tertinggi pada tahun 2024, mencapai rekor baru.

Peningkatan ini memperburuk krisis iklim yang dampaknya telah merusak kehidupan dan penghidupan masyarakat di berbagai belahan dunia.

Menurut laporan World Meteorological Organization (WMO), konsentrasi rata-rata CO2 global meningkat tajam sebanyak 3,5 ppm, mencapai angka 424 ppm pada 2024. Lonjakan ini dicatat sebagai peningkatan tahunan terbesar sejak pencatatan modern dimulai pada 1957.

Beberapa faktor berkontribusi pada lonjakan CO2, termasuk pembakaran bahan bakar fosil yang tak henti-hentinya di tahun 2024, meskipun ada janji oleh negara-negara di dunia pada 2023 untuk beralih dari batu bara, minyak, dan gas.

Faktor lain adalah peningkatan besar kebakaran hutan dalam kondisi yang dibuat lebih panas dan kering oleh pemanasan global.

Emisi kebakaran hutan di Benua Amerika sendiri bahkan mencapai tingkat bersejarah pada 2024, yang merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat.

Baca juga: Pangkas Emisi Karbon, Kemenhut Siapkan 17 Juta Bibit Gratis

Namun, ada faktor ketiga yang merisaukan para ilmuwan yakni kemungkinan bahwa kemampuan penyerap karbon alami bumi mulai rusak.

Setiap tahun, kurang lebih setengah dari total emisi CO2 diserap kembali dari atmosfer, baik melalui pelarutan di lautan maupun diserap oleh tumbuhan dan pepohonan yang tumbuh.

Masalahnya, suhu lautan yang meningkat membuat daya serap CO2 lautan berkurang. Sementara di darat, kondisi yang semakin kering dan panas, serta meningkatnya kebakaran hutan, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman.

Jika ini terjadi, kondisi tersebut akan menciptakan lingkaran setan yang berpotensi mempercepat laju kenaikan suhu global.

Melansir Guardian, Rabu (15/10/2025) penyerap karbon sudah diketahui kurang efektif pada tahun-tahun El Nino seperti 2023 dan 2024, di mana perubahan pada angin Pasifik dan arus laut menyebabkan suhu udara global lebih tinggi.

Namun, pemanasan global akibat ulah manusia telah menaikkan rata-rata suhu dunia sekitar 1,3 deraja C. Para peneliti, yang mencatat kegagalan penyerap daratan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2023 dan 2024, khawatir hal ini dapat melemahkan fungsi penyerap karbon tersebut.

Baca juga: Emisi Karbon Besar, Kendaraan Kurir Didorong Lebih Ramah Lingkungan

"Kami khawatir bahwa kemampuan penyerap CO2 di darat dan laut semakin menurun. Hal ini berarti jumlah CO2 yang terperangkap di atmosfer akan meningkat, dan pada akhirnya mempercepat pemanasan global. Oleh karena itu, pemantauan gas rumah kaca secara berkelanjutan dan intensif sangat krusial untuk memahami siklus umpan balik ini," kata Dr. Oksana Tarasova, pejabat ilmiah senior di WMO.

WMO menyatakan bahwa peningkatan emisi CO2 memiliki konsekuensi jangka panjang. CO2 tidak hanya memengaruhi iklim global hari ini, tetapi karena gas ini dapat bertahan di atmosfer selama ratusan tahun, dampaknya akan terus terasa di masa depan.

"Panas yang terperangkap oleh CO2 dan gas rumah kaca lain ibarat sedang 'memacu' iklim kita dan mengakibatkan cuaca yang semakin ekstrem. Dengan demikian, pengurangan emisi merupakan hal yang fundamental, tidak hanya demi melindungi iklim, tetapi juga demi menjamin keamanan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kita," papar Wakil Sekretaris Jenderal WMO, Ko Barrett.

Konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida di atmosfer yang merupakan gas rumah kaca terpenting kedua dan ketiga yang dihasilkan oleh aktivitas manusia juga mencapai rekor tertinggi pada 2024.

Sekitar 40 persen emisi gas metana bersumber secara alami. Namun, kekhawatiran ilmuwan adalah bahwa pemanasan global meningkatkan produksi metana di lahan basah, yang berpotensi menjadi lingkaran umpan balik yang memperparah pemanasan.

Baca juga: Solusi Krisis Iklim Ada di Akar Rumput, Pemerintah Jangan Bikin Program Sepihak

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau