JAKARTA, KOMPAS.com - Viral di media sosial, jangkar kapal wisata menggaruk terumbu karang di perairan Pulau Sebayur Kecil, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (25/10/2025) lalu.
Pengamat Maritim IKAL Strategic Center (ISC), Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai ini sebagai potret gagalnya tata kelola pariwisata.
Dia mengatakan Pulau Sebayur Kecil adalah salah satu lokasi penyelaman favorit wisatawan domestik maupun mancanegara dengan keragaman biota laut dan keindahan terumbu karangnya. Oleh sebab itu, rusaknya terumbu karang karena jangkar kapal harus dianggap kejahatan serius.
"Yang dapat menghapus puluhan tahun pertumbuhan alami karang dan memicu degradasi ekosistem laut dalam jangka panjang. Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas hal ini,” kata Marcellus dalam keterangannya, Senin (3/11/2025).
Baca juga: Nilai Ekonomi Mangrove dan Terumbu Karang Gili Matra Lombok Capai Rp 50 M Per Tahun
Menurut dia, insiden tersebut juga tidak bisa dipandang hanya sebagai kelalaian nakhoda atau kesalahan teknis. Melainkan pelanggaran ekologis serius.
"Ini bukan hanya soal satu kapal, tetapi potret kegagalan tata kelola pariwisata bahari yang tidak seimbang antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan,” tutur dia.
Sebagaimana diketahui, karang menjadi rumah bagi biota-biota laut, pelindung garis pantai dari abrasi, serta daya tarik utama wisata bahari. Artinya, merusak karang sama dengan merusak ekologi dan menggangu kondisi perekonomian warga setempat.
Dia turut menyatakan, perlindungan kawasan wisata laut belum dijalankan dengan serius lantaran masih banyaknya kapal yang bebas membuang jangkar sembarangan di Sebayur Kecil.
“Jika sebuah area konservasi tidak ditentukan titik koordinat untuk tambat resmi, jika pengawasan tidak berbasis teknologi, maka insiden seperti ini hanya tinggal menunggu waktu berulang lagi,” ucap Marcellus.
Baca juga: Mengapa Terumbu Karang yang Cantik Mendorong Konservasi yang Lebih Kuat
Perusakan terumbu karang berpotensi mengarah pada hukum pidana dan perdata lingkungan yang merujuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Srmentara, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi bagi tindakan yang merusak ekosistem dalam kawasan taman nasional.
Namun, penegakan hukum harus dibarengi reformasi tata kelola wisata laut. Kebanyakan operator wisata hanya mengejar keuntungan tanpa memahami aturan konservasi.
Dia lantas meminta Kementerian Lingkungan Hidup mengaudit ekologis dan pemulihan kawasan terdampak melalui restorasi aktif seperti transplantasi karang. Selain itu mendorong dipasangnya mooring buoy oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di lokasi wisata selam.
Kementerian Pariwisata perlu menetapkan standar sertifikasi wisata bahari lestari, sementara Kementerian Perhubungan wajib memperketat izin kapal wisata dan menerapkan teknologi pelacakan posisi kapal secara real-time untuk mencegah kapal masuk ke zona terlarang.
“Nelayan, pemandu selam, komunitas adat, mereka semua bisa menjadi penjaga ekosistem jika diberi pelatihan cukup, kewenangan dan akses pelaporan yang jelas. Mereka tinggal dan bergantung pada laut, mereka adalah garda terdepan,” papar dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya