Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Dekarbonisasi dan Perubahan Iklim

Kompas.com - 01/08/2023, 10:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAJUK rencana Kompas, Senin (31/07/2023), mengangkat judul sangat menarik “Memanusiakan Perubahan Iklim”, yang menyinggung suhu global tiga pekan pertama Juli 2023, menunjukkan rata-rata berada 1,5 derajat celsius di atas rata-rata suhu global sejak era praindustri akhir 1700 atau awal 1800.

Suhu mendidih bulan Juli juga terkait dengan gelombang panas di kawasan Amerika Utara, Asia dan Eropa. Datangnya juga bersamaan dengan kebakaran lahan di Kanada dan Yunani.

Pada 2022 lalu, kenaikan suhu bumi telah mencapai 1,2 derajat celcius dan dampaknya mulai terasa. Gelombang panas tanpa akhir terjadi di negara-negara belahan bumi utara hingga hujan ekstrem yang merendam sepertiga daratan Pakistan.

Para ilmuwan di PBB sepakat bahwa bencana iklim yang mengancam umat manusia akan terjadi jika suhu bumi naik melebihi 1,5 derajat celcius.

Bagi para pihak yang mengikuti iklim global, terutama pemerintah, kondisi sekarang buka tak terprediksi. Bahkan, sejak 1992, dunia sudah memulai inisiatif Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi.

Inisiatif itu menelorkan slogan Pembangunan Bekelanjutan (Sustanaible Development Goal’s/SDG), yakni kebijakan pembangunan negara haruslah mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Lalu muncul Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UVFCCC) yang beranggotakan hampir seluruh negara.

Para pemimpin pemerintahan/negara selalu berkumpul berkala membahas mengenai perubahan iklim.

Perjanjian Paris 2015 mempopulerkan istilah dekarbonisasi. Dekarbonisasi adalah proses menghilangkan atau mengurangi emisi karbon buatan manusia untuk mencapai nol emisi.

Net zero emission adalah seimbangnya jumlah emisi dengan penyerapannya sehingga tak terlepas menjadi gas rumah kaca ke atmosfer.

Dalam COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu, ada pakta negara-negara anggota PBB mencapai nol deforestasi, yakni seimbangnya penggundulan hutan dengan restorasinya.

Tiap negara mengajukan proposal penurunan emisi kepada konferensi iklim tahunan COP untuk menggaet kolaborasi pembiayaan mencapainya.

Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu oleh produksi emisi karbon yang menjadi gas rumah kaca di atmosfer akibat bumi tak sanggup menyerapnya.

Emisi karbon adalah hasil aktivitas ekonomi manusia untuk bertahan hidup dan mencapai kemajuan.

Faktanya, apa yang terjadi dengan perubahan iklim sekarang? Negara-negara dunia seperti tak berdaya. Pembahasan perubahan iklim lebih berbau politik dan negosiasi ekonomi, meminggirkan sisi manusia yang terimbas perubahan iklim dan pemanasan global.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com