KOMPAS.com – Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Sandra Fikawati menyatakan, peningkatan intervensi spesifik pada ibu menyusui dapat mencegah stunting.
Dia menuturkan, masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) anak sangatlah penting, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (2/7/2023).
1.000 HPK mencakup periode hamil, bayi lahir, menyusui di usia nol sampai enam bulan, dan usia enam 24 bulan saat bayi diberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
Baca juga: Jangan Cuma Rapat Sana Sini, Birokrasi Harus Turunkan Stunting
“Fokus pemerintah masih kurang pada masa pemberian ASI, selama ini pemberian makanan tambahan masih fokus pada ibu hamil saja,” kata Sandra kepada Antara.
Berdasarkan data yang disampaikan Sandra, hampir 50 persen ibu hamil di Indonesia menderita kekurangan darah merah atau anemia.
Selain itu, sekitar 17 hingga 20 persen menderita kurang energi kronis (KEK) yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, sehingga berpengaruh pada produksi ASI.
“Kalau ibunya kurang gizi, tetapi dia masih harus memberikan ASI eksklusifnya, ini akan berbahaya untuk kesehatan ibu, dan anak bisa stunting,” papar Sandra.
Baca juga: Berbagai Inovasi Desa Bantu Turunkan Angka Stunting
“Sehingga sang ibu pun harus dibantu memberikan makanan, utamanya protein hewani, karena pada saat menyusui asupan nutrisi harus cukup, tidurnya pun harus cukup,” imbuhnya.
Sandra menegaskan, program-program percepatan penurunan stunting yang dilakukan multipihak bisa berdampak positif apabila perhatian pada ibu menyusui terus ditingkatkan.
“Kalau anak stunting di masa itu (menyusui), apakah dia bisa mencerna dengan baik sesudahnya pada saat dia diberikan MPASI? Susah, kan? Inilah yang masih menjadi gap atau kekurangan di pemerintah,” ujar dia.
Menurut Sandra, perlu intervensi pemberian protein hewani lebih banyak kepada ibu menyusui dan mengedukasi pentingnya pemberian susu sapi setelah anak berusia enam bulan.
Baca juga: Kenali 3 Penyebab Utama Stunting, dari Kurang Nutrisi hingga Pola Pengasuhan
“Selama ini aktivis ASI belum banyak memberikan edukasi pada ibu tentang pentingnya pemberian protein dari susu sapi untuk anak di atas enam bulan, padahal, konsumsi susu sapi di Indonesia itu rata-rata hanya 12 liter per kapita per tahun, sedangkan di negara maju sudah 230 liter per kapita per tahun,” ucap Sandra.
Sandra menyampaikan, negara dengan tingkat konsumsi susu yang tinggi mempunyai anak-anak yang lebih pintar dan fisiknya bagus.
“Hidupnya juga lebih baik, karena protein hewani bukan hanya telur, protein hewani itu bisa optimal kalau semua jenis bisa didapatkan, jadi ada telur, ikan, daging, susu, itu kalau semua mudah didapatkan, maka kualitas hidup kita akan meningkat,” tutur Sandra.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurut provinsi pada 2022 rata-rata masih di bawah 80 persen.
Baca juga: 15.000 Telur Program Lestari untuk Anak Stunting di Penjuru Negeri
Provinsi Jawa Tengah menempati posisi tertinggi pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan yakni sebesar 78,71 persen.
Capaian itu disusul Daerah Istimewa Yogyakarta 77,16 persen, Jawa Barat 77 persen, dan Lampung 76,76 persen.
Selain keempat provinsi tersebut, pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan masih di bawah 75 persen.
Baca juga: Provinsi Kalsel Tertinggi Ketiga Nasional dalam Turunkan Stunting
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya