KOMPAS.com – Menyasar keluarga berisiko stunting memerlukan kemampuan literasi data dari para pemangku kepentingan.
Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan, dan Informasi (Adpin) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sukaryo Teguh Santoso di Jakarta, Senin (11/9/2023).
Dia menuturkan, data dapat menjadi landasan menyasar keluarga yang masih berisiko guna menurunkan stunting.
Baca juga: Cegah Stunting, TeleCTG Bersama JICA Kembangkan Telemedicine
“Karena kalau menyasar yang sudah stunting, keberhasilannya kecil, maka kuncinya ada di data,” kata Teguh sebagaimana dilansir Antara.
Saat ini, BKKBN memiliki data 13,5 juta Keluarga dengan Risiko Stunting (KRS) yang terdiri atas ibu hamil, ibu dengan bayi di bawah dua tahun (baduta), dan keluarga yang lingkungannya berisiko melahirkan bayi stunting.
“Kalau 13,5 juta ini didampingi dengan baik, kuantitasnya terdata dengan jelas, konvergensi sudah berjalan, edukasi sudah dilakukan, dan partisipasi masyarakat sudah dibangun, saya kira 13,5 juta ini bisa kita sasar dengan tepat,” ujarnya.
Dia menuturkan, apabila pemerintah fokus menyasar bayi di bawah lima tahun (balita) yang sudah dinyatakan stunting, maka peluang keberhasilan penanganannya hanya 20 persen.
Baca juga: Stunting Tak Terjadi Tiba-tiba, Prosesnya Berlangsung Sejak Ibu Masih Muda
“Kalau menyasar yang sudah stunting, keberhasilannya hanya 20 persen, karena kan mengikuti perkembangan otaknya, dan otak bayi itu berkembang pada usia 0-2 tahun, sehingga sudah terlambat,” ucap Teguh.
Teguh menekankan pentingnya seluruh kepala daerah memprioritaskan sasaran kepada keluarga berisiko stunting dan calon pengantin.
Menurutnya, penurunan stunting bisa tercapai dengan mengacu pada lima pilar terkait stunting sesuai dengan rencana strategis nasional.
Pertama, komitmen dan visi penurunan stunting. Kedua, komunikasi perubahan perilaku. Ketiga, konvergensi intervensi spesifik dan sensitif.
Baca juga: Bonus Demografi Jadi Sia-sia Jika Stunting Tak Ditangani Maksimal
Keempat, peningkatan ketahanan pangan dan gizi. Kelima, penguatan serta pengembangan sistem, data, informasi, dan riset.
Teguh menyampaikan, kepala daerah yang mampu berbicara stunting secara teknis merupakan sebuah kelebihan.
“Jadi perlu diingatkan kepada kepala daerah untuk memfokuskan program kepada keluarga risiko stunting dan calon pengantin,” papar Teguh.
Dia turut menyebutkan pentingnya peran tenaga lapangan yang terdiri dari Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dengan jumlah sekitar 14.000 personel, para relawan, hingga Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang jumlahnya ada 593.137 orang.
Baca juga: Indonesia Berbagi Pengalaman Penurunan Stunting dengan Laos
“Tugas mereka itu memberikan literasi tentang stunting, memberikan fasilitasi pelayanan, dan memastikan keluarga yang menerima bantuan sosial dari pemerintah sudah tepat sasaran,” cetus Teguh.
Dia berharap upaya dan kerja keras yang telah dilakukan oleh seluruh sektor dapat berbuah positif sebelum akhir tahun 2024.
“Harapannya, paling tidak di bulan Juli 2024 semua infrastruktur percepatan penurunan stunting yang selama ini telah kita bangun sudah bisa dipetik dan angka stunting kita bisa sesuai target 14 persen,” kata Teguh.
Baca juga: Percepat Penurunan Stunting, BKKBN dan HIPMI Kerja Sama
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya