Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Penyerapan Karbon Bersih pada 2030: Sekadar Target atau Visi Realistis?

Kompas.com - 03/10/2023, 16:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 29 Oktober 2021, dalam agenda mitigasi krisis lingkungan, Indonesia menetapkan Peraturan Presiden No. 98/2021.

Salah satu muatannya mengamanatkan penyerapan emisi karbon bersih pada 2030 dengan mengutamakan sektor kehutanan dan lahan, atau yang lebih dikenal sebagai FOLU Net Sink 2030.

Dalam visi tersebut, pada 2030 mendatang, emisi karbon yang diserap akan lebih besar daripada yang dilepaskan ke lingkungan.

“Ada empat strategi yang diutamakan: menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon,” ungkap Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Namun, terdapat sejumlah kondisi yang harus diperhitungkan dalam jalan menuju pencapaian tersebut.

Dependensi tinggi pada sumber energi berbasis fosil menjadi isu pertama, yang secara utama mendorong tingkat emisi karbon nasional.

Pada 2022, sektor energi nasional telah mengemisi 692 juta ton karbon dioksida, menjadi yang tertinggi keenam di dunia.

Melantainya bursa karbon pada September 2023, yang akan dilanjutkan dengan pajak karbon pada 2025, menjadi langkah yang diambil dalam mendorong transisi menuju perekonomian berenergi bersih.

Namun, ketersediaan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) yang masih terbatas membuat transisi tersebut belum sepenuhnya efektif.

Indonesia memiliki potensi EBT mencapai 3.686 gigawatt, sesuai estimasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Saat ini, pemanfaatannya masih rendah, hanya 0,3 persen, tutur Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kesiapan transisi energi Indonesia masih rendah.

Dibutuhkan setidaknya investasi sebesar 25 miliar dollar AS (Rp 384,8 triliun) untuk membangun infrastruktur EBT, sementara yang terealisasi setiap tahunnya tak pernah lebih dari 2 miliar dollar AS.

Akibatnya, pada 2022, bauran EBT baru mencapai 14,11 persen, masih jauh di bawah target 23 persen pada 2025.

Deforestasi dan kebakaran hutan juga menjadi tantangan besar dalam mencapai FOLU Net Sink 2030.

Kebakaran yang menghanguskan hingga 504 hektare lahan Taman Nasional Bromo pada awal September 2023, menjadi pengingat akan panjangnya daftar kasus karhutla yang mendera Indonesia setiap tahunnya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com