Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/01/2024, 10:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Presiden yang terpilih dalam kontestasi Pilpres 2024 harus melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi.

Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi sebagaimana dilansir Antara, Senin (15/1/2024).

Pasalnya, menurut Fahmy, program transisi energi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mencapai target-target yang ditetapkan.

Baca juga: Dibanding Negara Lain, Indonesia Punya Modal Transisi Energi

"Siapa pun presiden terpilih yang menggantikan Jokowi, harus melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi," ucap Fahmy.

"Target yang harus dicapai dalam program transisi energi itu adalah pencapaian net zero emission (netralitas karbon) pada 2060," sambungnya.

Fahmy menyebutkan bauran energi baru terbarukan (EBT) pada akhir 2023 baru mencapai 12,8 persen, masih cukup jauh dari target sebesar 23 persen pada 2025.

Terlebih, pada 2030 target meningkat menjadi sebesar 44 persen.

Baca juga: Potensi Energi Terbarukan Nusa Tenggara Barat

Ia mengungkapkan PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sesungguhnya sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong transisi energi.

PLN, misalnya, cukup berhasil dalam pengembangan EBT dengan telah diselesaikannya 28 pembangkit EBT baru.

Di antara program tersebut seperti de-dieselisasi dengan pembangunan jaringan transmisi dan jaringan distribusi hingga pengembangan hidrogen hijau pada tahun 2023.

Dia menambahkan, salah satu upaya transisi energi yang paling fenomenal yakni diresmikannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp).

"Namun, program pensiun dini PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara belum diselesaikan lantaran kesulitan penyediaan dana," tutur Fahmy.

Baca juga: Kabar Baik, Energi Terbarukan Dunia Meningkat 50 Persen

Sementara itu, Pertamina sejak beberapa tahun lalu sudah mengusahakan biodiesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit.

Program tersebut dimulai dengan B20, yang meningkat ke B35, dan naik menjadi B40. Namun, program tersebut kemudian berhenti lantaran ENI, mitra usaha dari Italia, menghentikan kerja sama dengan Pertamina.

"Pengembangan biodiesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng," imbuhnya.

Demikian juga dengan program gasifikasi Pertamina, yang mengolah batu bara menjadi gas, juga mengalami kegagalan setelah mitra usaha dari Amerika Serikat (AS) hengkang dari Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Fahmy, penting untuk melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi demi menunjang target netralitas karbon pada 2060.

Baca juga: Potensi Energi Terbarukan Provinsi Bali

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com