KOMPAS.com - Pekerja sektor batu bara yang terdampak transisi energi membutuhkan pembiayaan 2,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 38,4 triliun untuk kompensasi dan pelatihan.
Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Farah Vianda mengatakan, untuk merealisasikan pembiayaan tersebut, dibutuhkan perencanaan awal, mobilisasi kapasitas pendanaan, dan institusi.
Dengan demikian, berbagai upaya tersebut dapat mempersiapkan pekerjaan baru dan memberdayakan para pekerja terdampak di sektor batu bara.
Baca juga: G7 Sepakat Era PLTU Batu Bara Berakhir Tahun 2035
Dia menambahkan, pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk membuat isu transisi energi berkeadilan menjadi prioritas.
"Selain itu, perlu pula untuk peningkatan kapasitas pemerintahan dalam perencanaan, pembuatan kebijakan serta sistem tata kelola dan perlindungan lingkungan," kata Farah dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (30/4/2024).
Di sisi lain, Indonesia mendapatkan pendanaan dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak untuk agenda transisi energi.
Hibah dapat menjadi insentif dalam aktivitas kompensasi, dan pelatihan bagi pekerja yang terdampak di sektor batu bara.
Dana hibah dalam JETP juga bisa dipakai untuk pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Baca juga: Pajak Perusahaan Migas dan Batu Bara di Negara Kaya Dapat Tekumpul Rp 11,6 Kuadriliun
Akan tetapi, porsi hibah dalam JETP hanya sekitar 300 juta dollar AS atau 1,4 persen dari total komitmen pendanaan yang mencapai 21,5 miliar dollar AS.
Di sisi lain, untuk membiayai pekerja sektor batu bara yang terdampak saja butuh 2,4 miliar dollar AS menurut penghitungan IESR.
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Wira A Swadana menyampaikan, dalam masa transisi energi, membangun ketahanan masyarakat juga sangat penting.
Dengan mengedepankan aspek keadilan, tingkat ketahanan terhadap transformasi energi, sosial dan ekonomi masyarakat akan tinggi.
Wira mengingatkan, Indonesia telah menandatangani Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia pada 2018.
Baca juga: Dalam 10 Tahun, PLTU Batu Bara Captive RI Naik 10 Kali Lipat
Melalui perjanjian tersebut, Indonesia terikat menyiapkan dan memastikan proses transisi energi yang efektif dan inklusif bagi para pekerja.
"Di sektor tambang batu bara, transformasi ekonomi yang lebih inklusif diperlukan untuk mengatasi ketimpangan, meningkatkan kualitas kesehatan, membangun infrastruktur, serta sumber daya manusia (SDM) di komunitas sekitarnya," ujar Wira.
Di sisi lain, pemensiunan PLTU batu bara akan dapat menghindari biaya kesehatan.
Berdasarkan skenario yang sejalan dengan target JETP, pengakhiran operasional PLTU batu bara dapat mengamankan 150 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.400 triliun pada 2050.
Sementara itu, dengan skenario yang sejalan dengan Persetujuan Paris, biaya kesehatan yang dapat dihindari dari pengakhiran operasional PLTU batu sekitar 230 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.680 triliun pada pertengahan abad ini.
Baca juga: Studi: Co-firing PLTU Batu Bara Bikin Emisi Tambah 26,5 Juta Ton
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya