Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Air dan Perubahan Iklim Jadi Ancaman Dunia, Perlu Kolaborasi

Kompas.com - 02/04/2024, 20:17 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jelang agenda World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan digelar di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang, Indonesia sebagai tuan rumah terus melakukan berbagai persiapan. 

Kepala Badan Meteorologi, klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, forum ini nantinya akan mencari solusi tentang bagaimana mewujudkan keadilan terhadap air.

Sebab, akses, ketersediaan, maupun kualitas air yang ada saat ini dinilai masih belum merata secara global.

Baca juga: Tahukah Anda? Menanam Pohon Salah Tempat Justru Berkontribusi terhadap Perubahan Iklim

"Itulah yang akan dibahas dalam World Water Forum. Langkah langkah apa saja yang harus dilakukan secara bersama-sama, kolaboratif, dan juga tema besarnya adalah untuk mewujudkan air demi kesejahteraan bersama," ucap Dwikorita dalam Konferensi Pers Road to 10th World Water Forum secara daring, Senin (1/4/2024).

Tak bisa dipungkiri, saat ini dunia global tengah menghadapi berbagai situasi ekstrem sebagai dampak dari variasi dan perubahan iklim

Berdasarkan berbagai data, dampak perubahan iklim dan krisis air telah terjadi di berbagai negara, baik maju ataupun berkembang. Dampak tersebut antara lain mengenai pangan, kesehatan, hingga energi. 

Baca juga:

Berbagai bencana alam

Sementara berdasarkan data hasil observasi oleh Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) pada tahun 2022, pola debit sungai dan aliran yang masuk ke waduk sebagian besar lebih kering daripada kondisi normalnya.

"Kemudian terjadi peningkatan evapotranspirasi dan penurunan kelembapan tanah selama musim panas yang disebabkan oleh kekeringan," terang Dwikorita.

Tak hanya itu, terjadi pula cuaca ekstrem di Asia dan Osenia. Dwikorita menyebut, situasi hidrologis terjadi sangat kontras di Afrika.

"Meskipun Afrika bagian selatan mengalami kekeringan parah yang mempengaruhi ketahanan pangan terhadap 21 juta orang, wilayah seperti cekungan Niger dan wilayah pesisir Afrika Selatan mengalami debit air di atas rasa rata dan banjir besar," tuturnya.

Situasi di mana satu sisi kering, tetapi satu sisi yang lain mengalami banjir yang besar, dikatakan oleh Dwikorita sangat kontras.

Baca juga: 10 Provinsi dengan Akses Air Minum Layak Tertinggi, Jakarta Paling Atas

Menurutnya, kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Saat ini, sebagian wilayah telah mengalami kekeringan, namun wilayah lainnya mengalami banjir besar. 

"Wilayah kita ini mengalami kekeringan, tapi di pulau yang lain mengalami banjir. Jadi nampaknya ini memang sudah mulai terjadi secara merata di berbagai belahan dunia," tegasnya. 

Kondisi ini jika tidak ditanggulangi dan dibiarkan terus-menerus, diproyeksikan pada pertengahan abad ke-21 yaitu tahun 2050, akan meningkatkan kerentanan pada kawasan penyedia pangan.

"Jadi ini benar benar data terakhir yang sangat mengkhawatirkan, yang apabaila kita abaikan akhirnya baik negara yang sudah maju apalagi negara berkembang, dan negara-negara di pulau kecil itu akan mengalami dampaknya, tidak pandang bulu," ungkap Dwikorita. 

"Jadi kalau kita memang tidak insaf, tidak sadar, tidak bekerja bersama, kita akan punah bersama," pungkas Dwikorita.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com