JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mengatakan, Indonesia berpotensi meraih Rp 8.000 triliun dari perdagangan karbon.
Potensi cuan itu berdasarkan hitungan kasar penjualan kredit karbon dari hutan hujan tropis seluas 125,8 juta hektar, hutan mangrove 3,31 juta hektar, dan hutan gambut 7,5 juta hektar.
Hutan hujan tropis Indonesia diperkirakan dapat menyerap emisi karbon hingga 25,18 miliar ton setara karbon dioksida per tahun.
Baca juga: Bursa Karbon Ditarget Beroperasi September 2023
Sedangkan hutan mangrove dapat menyerap 33 miliar ton setara karbon dioksida, dan hutan gambut 55 miliar ton setara karbon dioksida.
"Jika Indonesia menjual kredit karbon dengan harga lima dollar AS per ton di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia sebesar Rp 8.000 triliun per tahun," kata Kamrussamad dalam Diskusi Publik Menyambut Bursa Karbon di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
UU ini menjadi dasar pengaturan bahwa bursa karbon akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca juga: Perdagangan Karbon ke Luar Negeri Tidak Tertutup, Aturan Sedang Digodok
Menurut Kamrussamad, OJK mesti jelas menempatkan lembaganya sebagai pengatur dan pengawas, serta mendengarkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan bursa karbon.
"Penyelenggara bursa karbon juga dapat dipisahkan dari bursa efek, sebagaimana merujuk pada beberapa negara seperti Amerika (AS), Singapura, dan Malaysia," katanya.
OJK juga diminta agar menjalankan pengaturan dan pengawasan sesuai UU P2SK yang mana OJK perlu terbuka kepada seluruh pelaku usaha yang ingin mendapatkan izin sebagai operator bursa karbon.
"OJK turut memiliki kewajiban membangun infrastruktur perdagangan karbon, menerbitkan peraturan terkait penyelenggaraan bursa karbon, dan mengendalikan perdagangan karbon," ucapnya, sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Bangun IKN Jadi Kota Hutan Netral Karbon, Otorita Gaet ADB
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penyelenggara bursa karbon tidak harus penyelenggara bursa efek.
Menurut Bima, kriteria kedua entitas tersebut sebetulnya berbeda.
Ia juga berharap agar OJK yang nantinya mengawasi penyelenggaraan bursa karbon tidak membatasi inovasi dan perkembangan dari penyelenggaraan bursa karbon, seperti di Swedia dimana masyarakat bisa membeli kredit karbon dengan menggunakan kripto.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya