KOMPAS.com – Menurut International Energy Agency (IEA) dalam World Energy Outlook 2022, umat manusia sedang berada di tengah krisis energi global pertama.
Tarif listrik di seluruh dunia rata-rata melonjak. Penyebab utamanya adalah tingginya harga bakar fosil seperti gas, minyak, dan batu bara.
Fluktuasi harga bahan bakar fosil tersebut membuat dunia sadar bahwa umat manusia masih sangat bergantung kepada sumber daya tak terbarukan, tidak berkelanjutan, dan menghasilkan polusi.
Baca juga: Aspek Lingkungan Dikalahkan Aspek Ekonomi dalam Transisi Energi Indonesia
Menurut IEA, krisis energi saat ini memicu masifnya pengembangan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) pada 2022.
Diprediksi, PLTS dan PLTB akan terus tumbuh dalam beberapa tahun mendatang. Energi terbarukan akan sangat penting untuk mengurangi polusi, menghasilkan energi bersih, dan mengatasi masalah keamanan energi.
Apalagi, listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan akan lebih murah dan terjangkau. Memanfaatkan potensi besar tenaga surya, angin, dan air dapat mempercepat penghematan energi.
Baca juga: Lonjakan Produksi Angin dan Matahari Bikin Harga Energi Turun
Dunia mulai bergeser untuk berinvestasi ke energi terbarukan. Menurut World Energy Outlook 2022, energi terbarukan diprediksi meningkat hampir dua kali lipat pada 2023.
Menurut laporan IEA lainnya, krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina telah mendorong pengembangan energi terbarukan sebesar 40 persen di Eropa pada 2024.
Dukungan kebijakan yang meningkat dan pemasangan yang terjangkau di Jerman, Italia, dan Belanda membuat pemasangan PLTS atap menjadi lebih menguntungkan.
Secara global, sekitar 100 juta rumah tangga diprediksi akan memiliki PLTS atap pada 2030, sebagaimana dilansir Earth.org.
Baca juga: Optimalisasi EBT Dukung Ketahanan Energi Nasional
Sementara itu, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkontribusi sekitar seperenam dari produksi listrik secara global pada tahun.
Meski demikian, produksinya menurun sebesar 0,4 persen pada 2021 karena kekeringan di negara-negara dengan PLTA terbesar seperti Brasil, Amerika Serikat (AS), Turkiye, China , India, dan Kanada, menurut IEA.
Sedangkan produksi listrik dari PLTB mencapai 273 terawatt jam (TWh) pada 2021, naik sebesar 17 persen dibandingkan tahun lalu.
Negara-negara yang terus menggenjot pengembangan PLTB pada 2021 adalah China sebesar 70 persen, AS sebesar 14 persen, dan Brasil sebesar 7 persen.
Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga mengalami peningkatan. AS menjadi negara terbesar dengan kapasitas PLTP terpasang di seluruh dunia.
Baca juga: Percepat Transisi Energi Perlu Kerja Sama Semua Pihak
Untuk mencapai kemandirian energi dan meningkatkan perekonomian, diperlukan kebijakan energi hijau lintas negara.
Rencana bantuan ekonomi juga cukup menjanjikan. Sekitar 108 miliar dollar AS dialokasikan untuk energi bersih dan 470 miliar dollar AS dalam paket stimulus terkait energi oleh masing-masing negara diperkirakan akan diinvestasikan.
IEA memperkirakan, implementasi PLTS dan PLTB akan meningkat signifikan pada 2023 karena adanya peningkatan momentum kebijakan, melonjaknya harga energi fosil, dan kekhawatiran akan ketahanan energi.
Pertumbuhan tersebut diperkirakan akan menyamai output daya listrik gabungan China dan AS, dengan total kapasitas global untuk energi terbarukan mencapai 4.500 gigawatt (GW).
Baca juga: Indonesia Dukung Percepatan Konektivitas Energi di ASEAN
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya