KOMPAS.com – Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih rendah. Bahkan sejak 2018, belum ada target bauran energi terbarukan yang tercapai.
Hal tersebut disampaikan peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR) His Muhammad Bintang dalam diskusi daring yang digelar bersama International Clean Energy Forum (ICEF).
Diskusi daring ini merupakan bagian dari "Road to Indonesia Energy Transition Dialogue 2023" yang akan diadakan pada 18 hingga 20 September 2023.
Baca juga: Kolaborasi Indonesia-Korsel dalam Transisi Energi
“Dari tahun 2018, target bauran energi terbarukan di Indonesia belum tercapai, namun setiap tahunnya, targetnya selalu ditambah,” kata Bintang dalam siaran pers IESR, Senin (31/7/2023).
Dia menuturkan, pemanfaatan energi surya dan bayu sangat rendah. Bila dibandingkan dengan potensinya, pemanfaatan energi surya dan bayu hanya mencapai 0,02 persen.
Manajer Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, beberapa strategi peningkatan bauran energi terbarukan adalah membangun pembangkit listrik energi terbarukan dan meningkatkan biofuel untuk mengganti biodiesel.
Akan tetapi, target pengembangan energi terbarukan bertumpu pada energi hidro atau air dan panas bumi.
Baca juga: Ini Rekomendasi Tingkatkan Bauran Energi Terbarukan Indonesia
Di sisi lain, energi terbarukan ditargetkan dapat menyumbang 23 persen dari total bauran energi primer di Indonesia pada 2025. Praktis, tersisa tiga tahun untuk mencapai target tersebut.
“Untuk mencapai keduanya (hidro dan panas bumi) dalam waktu dua tahun agak sulit untuk terealisasi. Maka kita butuh strategi lainnya,” ujar Deon.
Herman Daniel Ibrahim, mewakili Dewan Energi Nasional (DEN), menyatakan bahwa target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer sudah ditentukan berdasarkan penghitungan.
Herman menyampaikan, target tersebut hanya bisa tercapai dengan asumsi Indonesia menggunakan bahan bakar nabati seperti bioenergi dan bioetanol.
Baca juga: Indonesia Butuh Strategi Baru Capai 23 Persen Bauran Energi Terbarukan
Sayangnya penggunaan bioetanol belum terealisasi secara maksimal.
Sehingga, sektor yang bisa digenjot agar energi terbarukan bisa mencapai target adalah pembangkit listrik.
“Yang bisa dipercepat adalah sektor (pembangkit) listrik saja. Teknologi yang paling mudah dan cepat untuk mengejar 23 persen (bauran energi terbarukan) adalah PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) atap,” ujar Herman.
Koordinator Penyiapan Aneka Program Energi Baru Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM Mustaba Ari Suryoko menuturkan, dalam lima tahun terakhir, bauran EBT sebetulnya bertambah.
Baca juga: Dukung Energi Bersih, Schneider Electric Hadirkan Solusi Data Center Hibrida dan Edge
Akan tetapi, penambahan energi fosil lebih tinggi penambahannya, sehingga pencapaian EBT tidak terlihat.
Mustaba menambahkan, untuk mencapai bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dibutuhkan pembangkit yang tepat dan bisa cepat dikembangkan seperti PLTS.
“Dari sisi pemerintah, target tersebut bisa dicapai dengan adanya kolaborasi antar pemangku kepentingan. Selain itu, kita juga harus memastikan implementasi PLTS atap dan harmonisasi kebijakan,” kata Mustaba.
Baca juga: Dukung Energi Bersih, Schneider Electric Hadirkan Solusi Data Center Hibrida dan Edge
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya