KOMPAS.com – Perubahan iklim yang terjadi di Bumi saat ini berdampak besar terhadap terhadap populasi tumbuhan.
Jika tidak diantisipasi, kondisi tersebut akan terus memburuk dan meningkatkan laju kepunahan spesies tumbuhan.
Hal itu disampaikan Ketua Kelompok Riset Ekofisiologi dan Simbiosis Tumbuhan Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan (PRKTKK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Frisca Damayanti dalam acara "Garden Talk ke-13" pada Selasa (5/9/2023).
Baca juga: Presiden COP28: Dunia Kehilangan Kesempatan Capai Tujuan Perubahan Iklim
Frisca mengungkapkan, perubahan iklim menyebabkan perubahan perilaku dan fungsi tumbuhan.
“Perubahan yang mencakup respons, metabolisme, reproduksi, interaksi, dan pertahanan suatu spesies tumbuhan dapat diketahui melalui riset-riset ekofisiologi dan simbiosis,” kata Frisca dikutip dari keterangan tertulis BRIN.
“Hal ini sangat fundamental sebagai salah satu upaya untuk mengonservasi tumbuhan langka dari ancaman kepunahan,” sambungnya.
Salah satu peneliti PRKTKK BRIN Mutiara Kusuma Pitaloka menyampaikan penelitiannya pada salah satu tumbuhan langka yaitu Hopea bilitonensis.
Baca juga: Anak-anak Afrika Paling Berisiko Terdampak Perubahan Iklim
Hopea bilitonensis atau dikenal dengan nama pelepak merupakan tumbuhan langka dengan status “Terancam Punah” alias “Critically Endangered” dari IUCN.
Mutiara menyampaikan, penelitiannya mendapatkan informasi mengenai respons fisiologi Hopea bilitonensis akibat cekaman kekeringan.
“Pertumbuhan dan keberadaannya di alam dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim. Melalui kajian fisiologi diharapkan kita dapat menentukan strategi konservasi yang tepat," pungkasnya.
Sementara itu, seorang akademisi dari Kyoto University, Masaru Kobayashi, dalam kesempatan yang sama menutukan bahwa perubahan iklim membuat beberapa jenis tumbuhan tropis mengalami kekurangan mikronutrien unsur boron dan silikon.
Baca juga: Ini Komitmen LIXIL Group Perangi Dampak Perubahan Iklim
Padahal, fungsi boron dan silikon belum belum tergantikan oleh unsur lainnya. Kekurangan kedua unsur tersebut mengganggu pertumbuhan tanaman.
“Hal ini terbukti sangat memengaruhi proses pertumbuhan sorgum dan beberapa jenis tanaman lainnya,” ungkap Kobayashi.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, kemampuan dedaunan di hutan hujan tropis dalam berfotosintesis, mulai dari Amerika Selatan hingga Asia Tenggara, dapat menurun karena tingginya suhu akibat perubahan iklim.
Kemampuan dedaunan berfotosintesis mulai menurun ketika suhunya mencapai sekitar 46,7 derajat celsius. Dan suhu dedaunan bisa jauh lebih panas dibandingkan suhu udara.
Baca juga: Atasi Perubahan Iklim, Ini 3 Hal Sederhana yang Bisa Dilakukan di Rumah
Laporan tersebut disampaikan dalam penelitian dari beberapa ilmuwan dari sejumlah negara termasuk AS, Australia, dan Brasil yang diterbitkan dalam jurnal Nature, Rabu (23/8/2023).
Salah satu penulis penelitian tersebut, Christopher Doughty, profesor ekoinformatika di Northern Arizona University, menuturkan suhu ekstrem telah terjadi di hutan.
Suhu puncak rata-rata di kanopi hutan hujan antara 34 derajat celsius hingga 40 derajat celsius, sebagaimana dilansir CNN.
Saat ini, 0,01 persen dedaunan melewati ambang batas suhu kritis sehingga kemampuan mereka untuk berfotosintesis menurun, menurut laporan tersebut.
Baca juga: Ancaman Perubahan Iklim Makin Nyata, Subsidi Energi Fosil Malah Pecahkan Rekor
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya