KOMPAS.com – Mempercepat transisi energi memerlukan perluasan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan secara cepat.
Menurut skenario International Renewable Energy Agency (IRENA), pada 2050 variabel energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) akan berkontribusi sekitar 70 persen dari total pembangkit listrik global.
Saat ini, variabel energi terbarukan baru berkontribusi sekitar 9 persen total pembangkit listrik global.
Baca juga: Indonesia Berpotensi Besar Kembangkan Hidrogen Hijau, Ini Modalnya
Dalam konteks ini, green hydrogen atau hidrogen hijau muncul sebagai pelengkap utama dalam pemanfaatan produksi listrik energi terbarukan secara besar-besaran.
Hidrogen hijau adalah hidrogen yang dihasilkan dari listrik pembangkit listrik energi terbarukan. Saat ini, hidrogen dibutuhkan untuk sejumlah bidang seperti proses kimia atau pengilangan.
Dengan semakin meningkatnya tekanan untuk bertransisi energi, permintaan hidrogen hijau untuk menggantikan hidrogen biasa akan meningkat.
Selain itu, permintaan hidrogen hijau juga akan muncul dari sektor yang sulit dielektrifikasi seperti industri baja, penerbangan, transportasi darat, dan perkapalan.
Baca juga: PLTS Raksasa 2,6 GWp Dibangun di Australia, Produksi Hidrogen Hijau
“Mengingat peran tersebut, hidrogen diperkirakan akan mengalami pertumbuhan luar biasa dalam hal produksi,” tulis Irena dalam pers rilisnya, Rabu (20/9/2023).
Irena memperkirakan, agas sesuai dengan Perjanjian Paris dalam mencegah kenaikan suhu Bumi di atas 1,5 derajat celsius, hidrogen akan berkontribusi sebesar 14 persen dari konsumsi energi final global pada 2050.
Masifnya konsumsi hidrogen hijau di masa depan membutuhkan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan untuk memproduksinya mencapai 5.500 gigawatt (GW) pada 2050.
Selain itu, dibutuhkan input listrik sebesar 25.000 terawatt jam (TWh) untuk produksi hidrogen hijau pada 2050. Jumlah ini kira-kira setara dengan produksi listrik yang dikonsumsi dunia saat ini.
Baca juga: Malaysia Akan Punya Trem Bertenaga Hidrogen Pertama di Dunia
“Untuk benar-benar mendapatkan seluruh manfaat potensial, diperlukan transformasi penuh pada sistem energi,” tulis Irena.
Selain teknologi, dibutuhkan hal lain yang sama pentingnya yaitu pendekatan terpadu yang memerlukan pendekatan inovatif di berbagai bidang seperti regulasi, model bisnis, atau perencanaan dan pengoperasian sistem.
“Terciptanya pasar hidrogen global bergantung pada pendekatan sistemik ini, yang penting untuk mewujudkan nilai penuh dari ekonomi hidrogen yang ramah lingkungan,” papar Irena.
Baca juga: Peneliti Jerman dan Kanada Buat Alat Produksi Hidrogen dari Atap Rumah
Selain itu, identifikasi lokasi dengan potensi energi terbarukan yang tinggi akan menjamin beroperasinya produksi hidrogen yang hemat biaya.
Infrastruktur untuk mengangkut hidrogen atau turunannya ke lokasi konsumsi juga dianggap penting.
Salah satu pilar inti KTT iklim PBB COP28 pada November mendatang adalah mempercepat transisi energi dan mengurangi setengah emisi global pada 2030.
Baca juga: Dengan Jet Hidrogen, Perjalanan Keliling Dunia Paris-New York Cuma 90 Menit
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya