KOMPAS.com – Seiring dengan transisi energi, permintaan batu bara domestik diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2025-2030 dan mengalami penurunan setelahnya.
Selain itu, ekspor batu bara juga diprediksi akan menurun setelah 2025. Oleh karenanya, perlu upaya antisipasi untuk memastikan transisi energi berlangsung secara adil.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, apabila permintaan domestik dan ekspor batu bara turun, maka produksinya pasti turun.
Baca juga: 23,7 Persen Pembangkit Listrik Batu Bara Indonesia adalah PLTU Captive
“Indonesia punya waktu lima sampai 10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan melakukan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batu bara,” kata Fabby alam seminar bertajuk “Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah dan Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan”, Rabu (28/9/2023).
Penyesuaian tersebut dilakukan seiring dengan turunnya produksi batu bara yang berpengaruh terhadap berkurangnya permintaan negara dan daerah penghasil batu bara.
Fabby menekankan dalam memastikan transisi energi yang berkeadilan, setidaknya perlu memperhatikan tiga faktor, sebagaimana dilansir dari siaran pers IESR.
Ketiga faktor tersebut adalah keterkaitan antara ekonomi lokal dengan batu bara, kesiapan sumber daya manusia yang ada, dan rencana mitigasi dengan mempertimbangkan opsi-opsi alternatif perekonomian yang bisa dikembangkan di daerah tersebut.
Baca juga: PLTU Batu Bara Terakhir di Indonesia Pensiun 2058
Sementara itu, Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham Surya menyampaikan, transisi energi akan berdampak terhadap daerah penghasil batu bara di Indonesia, contohnya Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan dan Kabupaten Paser di Kalimantan Timur.
Berdasarkan laporan IESR berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim, batu bara menyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) yang besar di Muara Enim dan Paser.
Kontribusi batu bara sekitar 50 persen dan 70 persen terhadap PDRB masing-masing di Muara Enim dan Paser selama 10 tahun terakhir.
Baca juga: Aktivis Desak OJK Keluarkan PLTU Batu Bara dari Revisi Taksonomi Hijau
Selain itu, dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batubara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah hingga 20 persen di Muara Enim dan rata-rata 27 persen di Paser.
Meski demikian, ada ketimpangan kesejahteraan yang didapat dari produksi batu bara.
“Analisis modelling input-output kami di Kabupaten Muara Enim menunjukkan batu bara hanya memberikan nilai tambah berupa kompensasi sekitar 20 persen bagi pekerja, dibandingkan 78 persen yang digunakan untuk perusahaan batu bara itu sendiri,” tutur Ilham.
Hal tersebut menunjukkan, walaupun kontribusi PDRB sektor pertambangan tinggi, batu bara tidak mencerminkan distribusi manfaat kepada masyarakat lokal dan tidak banyak menimbulkan efek berganda yang besar.
Baca juga: PLN Batalkan Kontrak Jual-Beli Listrik dengan 1,3 GW PLTU Batu Bara
Ilham menegaskan, daerah penghasil batu bara memerlukan transformasi ekonomi untuk memangkas ketergantungan tinggi terhadap ekonomi yang berasal dari sumber daya alam ini.
Menurut kajian IESR, ada beberapa sektor unggulan yang bisa dikembangkan. Contohnya, di Kabupaten Paser dapat mengembangkan jasa keuangan, manufaktur dan pendidikan.
Sedangkan di Kabupaten Muara Enim dapat mengembangkan manufaktur, penyediaan akomodasi , serta makan minuman.
Baca juga: PLTU Batu Bara Ditinggal, Penambahan Pembangkit Listrik Fokus ke EBT
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya