KOMPAS.com – Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebutkan, solusi jangka panjang untuk ketahanan pangan nasional adalah pangan lokal.
Direktur Ketersediaan Pangan Bapanas Budi Waryanto menyampaikan, saat ini lembaganya sedang sedang mempersiapkan struktur untuk memastikan pengembangan pangan lokal.
Salah satunya melalui program Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA) yang mendukung diversifikasi pangan lewat kearifan pangan lokal.
Baca juga: Pemerintah Harus Jamin Akses Masyarakat Beli Beras saat Harga Pangan Naik
“Lewat program ini, Bapanas mendorong masyarakat untuk konsumsi pangan lokal. Namun, untuk dapat menyukseskan program ini, kami membutuhkan partisipasi dari pegiat pangan lokal,” kata Budi dalam diskusi media yang bertajuk “Hari Pangan Sedunia: Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino”, Kamis (12/10/2023).
Untuk diketahui, saat ini beras masih menjadi pangan utama masyarakat Indonesia dengan persentase konsumsi sebanyak 90 persen, sebagaimana rilis yang diterima dari ID COMM.
Budi menuturkan sejak dulu masyarakat Indonesia sebenarnya memilili sumber karbohidrat yang beragam, salah satu contohnya adalah papeda, olahan sagu di Papua.
“Pangan tersebut harus dipopulerkan kembali melalui inovasi, seperti dibuat menjadi olahan lain yang lebih menarik untuk menarik minat konsumsi tapi tetap bergizi,” ujar Budi.
Di sisi lain, Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) Emil Kleden menyebutkan, berdasarkan fakta di lapangan, keberlangsungan pangan lokal justru semakin terdesak saat ini, khususnya di Papua.
Baca juga: Tantangan Food Estate Indonesia Wujudkan Ketahanan Pangan Global
Dia mencontohkan, di Papua, sebagian besar masyarakatnya sudah beralih makanan pokok dari sagu dan ubi jalar menjadi beras.
Menurut Emil, ada persoalan yang problematik karena beras dianggap berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada sagu. Ada persepsi “kenaikan kelas” yang mereka dapatkan ketika makan nasi.
Semakin lama, konsumsi sagu semakin menurun dan praktik tradisional untuk penyimpanan ubi serta sagu semakin ditinggalkan. Padahal, lumbung sagu adalah komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat adat di sana.
“Tidak hanya mengenai beras, bencana kekeringan di Papua juga menyebabkan mengancam ketersediaan bahan pangan utama masyarakat Papua yaitu ubi jalar dan sagu,” papar Emil.
Selain itu, konversi hutan sagu untuk kebutuhan lain ini semakin mengancam keberlangsungan pangan lokal penduduk asli Papua karena berkurangnya lahan produksi untuk sagu.
Baca juga: Irjen Kementan: 20 Persen Dana Desa untuk Sektor Pangan
“Belum lagi tentang potensi hilangnya sumber protein hewani seperti rusa, babi, dan kasuari karena habitat asli mereka sudah dihancurkan. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat adat yang masih menggunakan praktik tradisional untuk menghasilkan dan menyimpan pangan,” imbuhnya.
Dia mengingatkan bahwa setiap tahunnya dalam 40 tahun terakhir, selalu ada daerah di Papua dan Papua Barat yang mengalami bencana kelaparan akibat cuaca ekstrem, musim dingin, kekeringan, dan gagal panen.
Dari sisi ekonomi, kata Emil. sagu, keladi, ubi jalar yang bukan produk hasil budidaya belum diperhitungkan sebagai komoditas yang dihitung dalam sektor bisnis.
Oleh karena itu, komoditas seperti ini juga tidak diperhitungkan dalam perhitungan ekonomi negara. Faktor ini menyebabkan pangan lokal semakin bergeser dan digantikan oleh komoditas lain yang memiliki nilai jual.
“Hal ini sangat disayangkan karena jika pangan lokal diperhitungkan secara ekonomi, maka potensi keberlangsungannya juga jadi lebih tinggi. Ketahanan pangan dan kearifan lokal akan tetap terjaga dengan konsep kita menjaga alam dan alam juga akan menjaga kita,” tutur Emil.
Baca juga: Indonesia Butuh Peta Jalan Tekan Mubazir Pangan
Emil menyampaikan, semua pihak, termasuk pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan ketahanan pangan di lokal dapat tercapai.
Terutama peran pemerintah daerah dalam membantu peningkatan produksi dan teknik penyimpanan jangka panjang pangan lokal penduduk asli Papua seperti sagu, ubi jalar, umbi keladi dalam mengantisipasi cuaca ekstrem dan El Nino.
Kemudian memastikan bahwa sektor bisnis telah konsisten menjalankan prinsip yang sesuai dengan hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam aspek sosial dan lingkungan.
Upaya mempopulerkan kembali pangan lokal juga tengah dilakukan di Siak, Provinsi Riau.
Cindi Shandoval, Founder SKELAS dan Heritage Hero Siak, sepakat bahwa pangan lokal mesti dijaga meskipun ada tantangan dalam memastikan kelestariannya.
Baca juga: NTB Didorong Jadi Penyangga Pangan Indonesia Timur
“SKELAS menawarkan pengalaman exclusive Siak traditional dining yang diadakan di Istana Siak. Acara ini menyajikan makanan tradisional Siak yang dimasak langsung oleh maestro,” ucap Cindi.
Dalam exclusive Siak traditional dining, setiap menu disajikan bersama dengan narasi yang disampaikan kepada tamu terkait asal usul makanan, makna dari makanan, hingga bahan baku yang digunakan.
Menu dimasak menggunakan resep turun temurun dan rempah-rempah lokal yang hanya tumbuh di kawasan hutan di Siak. Sehingga, pengalaman ini hanya bisa didapatkan di Siak.
“Kami juga berusaha agar timbul kesadaran bersama menjaga lahan agar rempah lokal tersebut tetap dapat tumbuh di hutan. Selain itu, ada perputaran ekonomi di sana yang bermanfaat bagi masyarakat lokal,” jelas Cindi.
Baca juga: Jadi Salah Satu Lumbung Pangan, Kalsel Didorong Antisipasi Dampak El Nino
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya