Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (I)

Kompas.com - 11/01/2024, 15:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Muhammad Hafidz Akbar (18) tersenyum saat ditanya calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pilihannya. Siswa kelas 10 Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Solo ini masih belum menentukan pilihannya kelak.

Namanya sudah tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Solo dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 24 Februari 2024 mendatang. Ini kesempatan pertama bagi Hafidz, sapaan akrabnya, untuk menyalurkan hak suaranya.

Meski sudah terdaftar dalam DPT, Hafidz yang merupakan penyandang disabilitas intelektual ragam down syndrome ini jauh dari gegap gempita kampanye capres, partai politik (parpol), maupun calon legislatif (caleg).

Orang dengan kondisi khusus ini mengalami keterbatasan dalam keterampilan konseptual, sosial, dan keterampilan praktis. Dalam Jurnal Pertumbuhan, Perkembangan, dan Pendidikan Anak Usia Dini Volume 17 (2) yang terbit tahun 2020, penyandang down syndrome mengalami defisit intelektual dan gangguan fungsi adaptif.

Baca juga: Pemilu Makin Dekat, Pemimpin Terpilih Dituntut Lindungi Lahan Gambut

Lantas bagaimana Hafidz mendapatkan informasi seputar pemilu?

Agung Hartono (50), ayah Hafidz menuturkan, selama mendampingi anaknya, belum pernah ada sosialisasi khusus bagi pemilih dengan down syndrome. Baik itu dari penyelenggara maupun peserta pemilu.

Partai politik dan calon legislatif fokus mendatangi warga guna meminta dukungan tapi itu secara umum. Caranya lewat pertemuan-pertemuan di forum-forum rukun tetangga atau rukun warga.

“Kalau (kampanye) khusus untuk (menjangkau) anak-anak berkebutuhan khusus, sejauh ini belum ada,” kata Agung saat Kompas.com bertandang ke rumahnya di Mojo RT 008/RW 008, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, akhir tahun lalu.

Meski memahami karakter anaknya, Agung kesulitan untuk memberikan pendidikan dan penjelasan politik. “Pilihan anak-anak istimewa (penyandang disabilitas intelektual) secara otomatis ikut arahan orangtua,” tutur Agung.

Beragam keterbatasan itu membuat Agung memilih untuk mendampingi putranya saat hari pencoblosan. Dalam pemilu serentak tahun 2024 ini, setiap pemilih termasuk Hafidz bakal mendapatkan lima lembar surat suara.

Masing-masing untuk memilih calon presiden dan wakilnya, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota DPR tingkat provinsi dan kota atau kabupaten.

Selain banyak, desain surat suara itu juga bakal cukup besar karena memuat nama serta foto-foto calon anggota legislatif. Agung menilai putranya bakal kesulitan apabila tidak didampingi untuk menyalurkan pilihan di bilik suara.

Kesulitan ini mungkin bakal dirasakan juga oleh setidaknya 95 penyandang disabilitas intelektual yang masuk dalam DPT di Kota Surakarta.

KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Penyandang disabilitas yang masuk DPT Solo

Mereka yang masuk dalam DPT itu hanya mencapai 3,37 persen dari 2.847 penyandang disabilitas yang tercatat di Kota Surakarta. Ilustrasinya, dari setiap 100 penyandang disabilitas, hanya ada tiga orang saja yang tercatat sebagai pemilih oleh KPU.

Baca juga: KPU Didorong Angkat Isu Krisis Iklim dalam Pemilu 2024

Jika dibandingkan dengan jumlah pemilih total di Kota Surakarta sebanyak 439.009 orang, maka pemilih dengan kondisi disabilitas intelektual yang bisa menyalurkan suaranya hanya 0,02 persen.

Padahal, hak pilih penyandang disabilitas intelektual, termasuk disabilitas lainnya, dijamin seperti dalam Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Gunung es

Muhammad Hafidz Akbar (18) penyandang disabilitas intelektual ragam down syndrome berpose saat disambangi di kediamannya di Mojo RT 008/RW 008, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Jumat (22/12/2023).KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Muhammad Hafidz Akbar (18) penyandang disabilitas intelektual ragam down syndrome berpose saat disambangi di kediamannya di Mojo RT 008/RW 008, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Jumat (22/12/2023).
Perwakilan Tim Advokasi Difabel (TAD) Kota Solo Misbahul Arifin menyampaikan, jumlah penyandang disabilitas yang ada bisa jadi lebih besar daripada yang terdata dalam DPT. Ada beragam faktor yang memengaruhi pencatatan ini.

Pertama, keengganan orangtua yang tidak mau memasukkan anggota keluarganya masuk dalam data penyandang disabilitas di DPT.

Kedua, ada laporan yang menyebut petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) dalam melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data tidak bertanya terlebih dulu mengenai keberadaan penyandang disabilitas di dalam suatu keluarga. Ini memperbesar peluang penyandang disabilitas tidak masuk dalam data pemilih berkebutuhan khusus.

Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Risiko Perusakan Hutan Dikhawatirkan Meningkat

Ketua Divisi Perencanaan, Data, dan Informasi KPU Kota Solo Aldian Andrew Wirawan mengatakan, pendataan penyandang disabilitas, termasuk disabilitas intelektual, mengacu pada Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Di dalamnya terdapat identitas lengkap calon pemilih, termasuk jenis disabilitasnya.

Sebelum ditetapkan menjadi DPT, proses coklit dilakukan selama enam bulan, termasuk melibatkan komunitas penyandang disabilitas saat melakukan pendataan di daerah yang memiliki penyandang disabilitas.

"Ketika petugas melakukan coklit, didampingi dan disesuaikan dengan kolom khusus penyandang disabilitas," kata Aldian.

Pelibatan

Suasana sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk organisasi penyandang disabilitas di Kota Solo yang digelar oleh KPU Kota Solo, Sabtu (16/12/2023).KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Suasana sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk organisasi penyandang disabilitas di Kota Solo yang digelar oleh KPU Kota Solo, Sabtu (16/12/2023).
Fenomena keluarga yang menolak memasukkan nama keluarganya yang penyandang disabilitas masuk dalam DPT juga tidak dibantah Aldian.

Namun, setiap penyandang disabilitas yang masuk dalam DP4 dan ketika dilakukan coklit masih ada, tetap dikategorikan masuk berkebutuhan khusus.

Ketua KPU Kota Solo Bambang Christanto mengutarakan, masalah stigma terhadap penyandang disabilitas jadi salah satu alasan keluarga tidak terbuka dalam hal pendataan DPT.

"Kami tetap memasukannya ke dalam DPT. Datang tidaknya (ke tempat pemungutan suara atau TPS) atau penggunaan hak pilihnya, itu sudah lain urusan," kata Bambang.

Sejauh ini, Bambang menyampaikan KPU Kota Solo sudah menjalin kerjasama dengan berbagai komunitas penyandang disabilitas suntuk melakukan sosialisasi terkait hak pilih.

Baca juga: Enam Strategi Lemhanas Tangkal Disrupsi Informasi Jelang Pemilu 2024

Dia menambahkan, pihaknya juga akan membekali Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara (KPPS) sebagai ujung tombak penyelenggaraan Pemilu di level TPS untuk lebih paham kebutuhan disabilitas. Pasalnya, wajib bagi setiap TPS untuk dapat diakses para penyandang disabilitas untuk menyalurkan suaranya.

"Selain itu, pemilihan kali ini bersifat inklusif. Teman-teman penyandang disabilitas tidak hanya bisa ikut sebagai pemilih, tapi juga bisa terlibat menjadi penyelenggara sepanjang memenuhi persyaratan," papar Bambang.

Penyelenggara pemilu yang bisa diikuti penyandang disabilitas, kata Bambang, contohnya adalah petugas pantarlih atau KPPS.

Persyaratan yang ditentukan seperti berusia minimal 17 tahun, sehat jasmani serta rohani, minimal pendidikan yang sudah ditempuh, dan beberapa poin lainnya sesuai peraturan KPU.

Tidak ada perubahan

Di sisi lain, Misbahul berpendapat pelibatan kelompok disabilitas sejauh ini masih bersifat kesukarelawanan. Menurutnya, penyandang disabilitas perlu dilibatkan dalam berbagai pengambilan keputusan dan pelaksanaan pemilu, bukan sekadar menjadi sukarelawan.

Catatan Misbah ini berkaca dari kondisi di lapangan. Petugas teknis pemungutan suara seperti KPPS dan pantarlih belum semuanya paham soal ragam disabilitas.

“Ada yang tidak mengetahui perbedaan disabilitas intelektual dan disabilitas mental, contohnya bipolar. Kalau disabilitas intelektual ringan, petugas tidak tahu karena tidak memiliki perbedaan dengan non-penyandang disabilitas,” papar Misbah.

Baca juga: Krisis Iklim Dianggap Genting, Harus Jadi Prioritas Kampanye Pemilu 2024

Selain itu, penyandang disabilitas juga perlu dilibatkan serta diberi keleluasaan dalam kampanye desain pemilu, mulai dari pra-pemilu, masa kampanye, sampai hari H pemungutan suara. Dengan demikian, keterlibatan penyandang disabilitas bisa lebih meningkat.

Di samping itu, surat suara pun tidak terlalu mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Sejauh ini, baru penyandang disabilitas sensorik netra yang mendapat surat suara dengan huruf braille.

Memang sejak pemilu 2004, penyelenggara pemilu sudah menyediakan surat suara dengan huruf braille tapi hanya untuk surat suara untuk pemilihan capres-cawapres dan surat suara untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sudah hampir dua dekade, tidak ada penambahan. Mentok di dua jenis surat suara tersebut.

Soal penggunaan hak suara, Misbah menyoroti, kehadiran pendamping penyandang disabilitas bisa juga disalahgunakan.

“Penyandang disabilitas termasuk kelompok rentan, suaranya mudah dipengaruhi (dibujuk atau diarahkan pilihannya),” kata Misbah.

Bersambung... Baca berita lanjutannya (Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual II) melalui tautan ini.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com