Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Polemik Pupuk Bersubsidi

Kompas.com - 15/01/2024, 13:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal itu membuktikan, ketersediaan dan kontinuitas gas alam menjadi penting dalam produksi pupuk di Indonesia.

Gas alam merupakan bahan baku dan sumber energi dalam produksi amonia dan urea, (bahan dasar pupuk N). Gas alam berkontribusi 70-80 persen dari biaya total produksi amonia/urea. Kondisi ini diperparah dengan melambungnya harga batu bara sebagai sumber energi.

Polemik bahan baku

Mengacu kepada data yang ada, kebutuhan riil pupuk petani bersubsidi sebesar 23,3 juta ton, sementara pemerintah hanya mampu menyediakan anggaran melalui APBN untuk pupuk bersubsidi sebesar 9,04 juta ton (hanya mampu menyediakan pupuk bersubsidi sebesar 38,79 persen dari total kebutuhan petani yang ada).

Dengan demikian, terdapat kekurangan sebesar 14,26 juta ton atau kurang sekitar 61,21 persen dari total kebutuhan petani yang ada.

Bila dirupiahkan, kekurangan anggaran untuk pupuk bersubsidi mendekati Rp 40 trilliun, atau tepatnya Rp 39,92 triliun.

Meskipun kapasitas produksi pabrik-pabrik pupuk di Indonesia mampu berproduksi sebesar 13,75 juta ton per tahun, namun pada kenyataannya baru mampu berproduksi sebesar 3,5 juta ton per tahun.

Kondisi ini dikarenakan bahan baku pembuatan pupuk kebanyakan didatangkan (diimpor) dari luar negeri seperti ammonia dan posphat yang tentu harganya jauh lebih mahal bila bahan baku tersebut dapat disediakan di dalam negeri.

Belum lagi bicara ketersediaan gas alam yang juga merupakan bahan baku utama pembuatan pupuk, di samping ammonia dan posphat.

Hanya gara-gara pasokan gas alam dari pabrik gas PGN ke pabrik pupuk terhambat, PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) di Lhoksumawe Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sempat tidak berproduksi sampai dua bulan beberapa tahun lalu.

Sementara, kekurangan kebutuhan pupuk nasional sisanya didatangkan (diimpor) dari negara lain. Itupun hanya mampu mengimpor pupuk sebesar 6,39 juta ton.

Itulah dilema kebutuhan pupuk nasional untuk petani yang sekarang menjadi polemik hangat bagi para paslon capres-cawapres dalam Pilpres 2024.

Ide Cak Imin (Muhaimin Iskandar) untuk membangun pabrik-pabrik baru guna mencukupi kebutuhan dan kelangkaan pupuk dalam negeri rasanya kurang realistis, karena bahan baku pembuatan pupuk tidak tersedia di dalam negeri.

Di samping itu, produksi pupuk dari pabrik-pabrik pupuk yang ada di Indonesia, belum mencapai pada kapasitas terpasang.

Dari kapasitas produksi terpasang sebesar 13,75 juta ton setiap tahun, fakta produksi yang dihasilkan baru 3,5 juta ton per tahun (baru berproduksi sekitar 25,45 persen saja).

Faktor penghambat produksi pupuk nasional yang kurang optimal di Indonesia, bukan karena kurangnya jumlah pabrik pupuk di Indonesia, tetapi karena terbatasnya kemampuan anggaran yang dimiliki oleh pabrik-pabrik pupuk yang ada untuk mengimpor bahan baku.

Indonesia jangan bermimpi untuk swasembada pupuk sebagaimana swasembada pangan khususnya padi/beras, sepanjang kita tidak mampu menyediakan bahan baku pembuatan pupuk seperti sekarang ini. Tidak mudah dan dilematis memang.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com