KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia dalam bertransisi ke energi terbarukan.
Pertanyaan ini menyusul rencana pemerintah merevisi target energi baru terbarukan (EBT) yang turun menjadi 17-19 persen pada 2025, dari awalnya 23 persen, sebagaimana tertuang dalam draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menuturkan, alih-alih menurunkan target energi terbarukan, pemerintah seharusnya mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini.
“Karena, walau masih dalam draf RPP KEN, indikasi penurunan target dapat memberikan dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia,” ujar Deon, dalam pernyataan tertulis, Senin (29/1/2024).
Baca juga: Rencana Penurunan Target EBT Bikin Niat Investor Goyah
Sementara itu, menurut Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC) Arif Adiputro, revisi target bertentangan dengan netral karbon 2060 dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca 29-31 persen.
Pasalnya, untuk mencapai kedua target ini, Indonesia seharusnya meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45 persen pada 2030.
“Penurunan target bauran energi terbarukan menghambat upaya mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini dapat berdampak negatif pada upaya transisi energi di Indonesia, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Arif.
Selain menurunkan target energi terbarukan, mereka menilai draf revisi KEN juga tetap ngotot memasukkan sejumlah solusi palsu dan semu dalam strategi transisi energi.
Misalnya, pemanfaatan biodiesel berbasis sawit hingga menyentuh campuran 60 persen (B60), pemasangan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, hingga pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW).
Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law Grita Anindarini mengatakan, revisi PP tentang KEN ini seharusnya dijadikan peluang untuk memastikan target bauran energi nasional sejalan dengan target iklim yang aman.
Oleh karena itu, revisi yang disusun seharusnya justru menetapkan target ketat pengakhiran ketergantungan pada energi fosil dan mengutamakan pengembangan energi terbarukan.
“Memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak asasi manusia berupa risiko toksik serius dan sangat sulit dipulihkan. Hal ini membawa risiko terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan,” ujar Grita.
Baca juga:
Risiko lain yang dihadapi dengan diturunkannya target adalah berkurangnya potensi pekerjaan hijau (green jobs).
Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani, memperkirakan prospek ketersediaan lapangan kerja bidang teknik energi terbarukan dapat mencapai 432.000 pada 2030, jika pemerintah konsisten dengan target 23 persen pada 2025 dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Potensi lapangan kerja ini tercatat 10 kali lipat dari 2019 dan melebihi jumlah tenaga kerja di sektor energi fosil pada saat ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya