KOMPAS.com - Menurut studi, gas metana dari sisa makanan rupanya dapat berkontribusi terhadap pemanasan global. Upaya sederhana untuk menghentikannya bisa membawa perbedaan besar.
Dikutip dari Reuters, Selasa (13/2/2024), selain beberapa cara untuk hidup lebih ramah lingkungan seperti mengendarai mobil listrik dan tidak makan daging, ada cara yang relatif mudah lainnya.
Perilaku ramah lingkungan lain yang relatif tidak mengganggu dan berbiaya rendah adalah dengan mengurangi limbah makanan.
Biasanya, saat menemukan buah apel yang berjamur atau sisa mie, kita akan menuju tempat sampah dan mengucapkan selamat tinggal pada makanan busuk tersebut.
Baca juga: Digitalisasi Industri Makanan dan Minuman Menuju Green Industry
Namun, para ilmuwan bidang iklim meminta kita untuk berpikir dua kali sebelum membuang makanan ke tempat pembuangan sampah, karena makanan tersebut akan terurai dan melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca buatan manusia.
Data penelitian menunjukkan, limbah makanan sudah muncul di tiap proses dalam rantai produksi, mulai dari pengolahan hingga makanan yang dikonsumsi manusia di rumah.
Menurut data Reuters, makanan yang terbuang di sepanjang rantai produksi terbagi mulai dari 17 persen di pertanian, 15 persen manufaktur, 6 persen retail, 14 persen layanan makanan, dan rumah 48 persen menjadi penyumbang limbah makanan terbesar di Amerika Serikat.
Saat sudah dikonsumsi di rumah, proporsi sisa makanan dibuang di tempat pembuangan sampah juga cukup besar, yakni 47 persen dibuang ke TPA, dan 53 persen dibuang dengan cara lain.
Oleh karena itu, sejumlah organisasi dunia seperti Environmental Protection Agency (EPA), United States Department of Agriculture (USDA), dan United Nations (UN) telah menetapkan tujuan untuk mengatasi limbah makanan rumah tangga, dan bertujuan untuk mengurangi setengahnya pada tahun 2030.
Seiring waktu, makanan terkubur di bawah limbah lain dan terurai dalam kondisi anaerobik (tanpa akses oksigen), menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi bakteri yang menghasilkan metana.
Metana adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, sekaligus gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada karbon dioksida selama periode 100 tahun.
Baca juga: Tidak Punya Kebun untuk Mengompos Sisa Makanan? Gunakan Cara Ini
“Karakteristik makanan kaya akan energi, protein, nutrisi, dan relatif mudah untuk mengekstraksi energi tersebut. Artinya, di lingkungan TPA, makanan tersebut akan menghasilkan lebih banyak gas metana dibandingkan komponen limbah lainnya,” kata insinyur di Kantor Penelitian dan Pengembangan EPA, Max Krause.
Berdasarkan data, potensi metana yang dihasilkan per ton sampah TPA, untuk limbah makanan adalah 39 persen, limbah kertas 24 persen, limbah tekstil 22 persen, kayu 2 persen, dan sisa lainnya.
“Sampah makanan padat di tempat pembuangan sampah menghasilkan metana dalam jumlah yang luar biasa setiap tahunnya, hal ini didasarkan pada fakta bahwa makanan menumpuk dan terurai dalam kondisi anaerobik,” kata peneliti di Pusat Penelitian Sistem Iklim NASA, Kevin Karl.
Menurutnya, saat berbicara tentang pemanasan global, umumnya kita akan berpikir tentang karbon dioksida sebagai salah satu gas rumah kaca yang paling melimpah di atmosfer. Namun, metana juga patut diperhatikan.
Kontribusi gas rumah kaca terhadap efek pemanasan
Mengurangi metana, menurut Program Lingkungan UN, adalah kunci dalam mencapai batas suhu yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris tahun 2015.
Sebab, peluang untuk mengurangi metana relatif murah dibandingkan dengan karbon dioksida yang selama ini digaungkan.
Sebagai informasi, potensi pemanasan global akibat metana adalah 100 kali lipat dibandingkan karbon dioksida dalam 20 tahun pertama keberadaannya di atmosfer, namun metana meninggalkan atmosfer dalam waktu yang sangat singkat.
Baca juga: Setiap Tahun, 1,3 Miliar Ton Makanan Terbuang Sia-sia
Karbon dioksida yang kita keluarkan saat ini akan terus memanaskan bumi hingga 100.000 tahun, sedangkan metana hanya bertahan dalam jangka waktu 12 tahun sebelum terurai menjadi gas yang kurang kuat.
“Salah satu cara tercepat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang ada di bumi adalah dengan mengurangi gas metana yang dihasilkan saat ini,” kata Karl.
Adapun menurut ahli kimia atmosfer di Universitas Carnegie Mellon, Dr. Neil Donahue, dampak metana jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida dalam hal pemanasan.
Ia menjelaskan, metana buatan manusia mempersempit wilayah jendela atmosfer yang penting, memerangkap panas yang bisa keluar dan menghangatkan planet ini.
Metana yang dihasilkan oleh pembusukan makanan di tempat pembuangan sampah menyumbang 1,6 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia.
Meski kedengarannya tidak terlalu besar, persentasenya cukup besar untuk polutan tertentu. Ketika para ilmuwan melihat kategori yang sangat spesifik, kata Karl, angka di atas 1 persen sudah termasuk signifikan.
“Setiap tindakan yang dapat mencegah sampah makanan menumpuk dan tidak diolah akan secara langsung mengurangi dampak iklim," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya