KOMPAS.com – Pengelolaan produksi pangan yang lebih adaptif dengan beralih ke sistem yang berkelanjutan dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak krisis iklim di masa mendatang.
Pasalnya, perubahan iklim dan dampak berbagai fenomena alam seperti El Nino telah memengaruhi produktivitas bahan pangan seperti beras.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2015 hingga tahun 2017, produksi padi meningkat dari 69 juta ton ke 81 juta ton gabah kering giling (GKG).
Baca juga: Harga Bahan Pokok Terus Naik, Subtitusi Pangan Konsumen Jadi Kunci
Namun pada 2018, produksi padi menurun cukup drastis yakni 56,54 juta ton hingga mencapai produksi terendahnya pada 2023 sebesar 53,63 juta ton.
Faktor lain yang menyebabkan menurunnya produksi padi selain perubahan iklim yang ekstrem adalah karena berkurangnya luasan lahan sawah yang dipicu oleh alih fungsi lahan.
Dosen dan peneliti pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung Angga Dwiartama mengkhawatirkan sistem pangan di Indonesia saat ini.
Hal tersebut disampaikan Angga dalam diskusi daring bertajuk "Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim" pada Selasa (5/3/2024).
Pasalnya, sistem pangan di Indonesia, khususnya padi, sangat ringkih terhadap guncangan seperti El Nino.
Baca juga: Program Makan Siang Gratis, Food Estate, dan Diversifikasi Pangan
Menurutnya, berpikir secara business as usual atau konvensional dalam produksi pangan harus ditinggalkan untuk mengantisipasi krisis iklim dan beralih ke arah keberlanjutan pangan.
Ahmad memaparkan tiga rekomendasi utama untuk adaptasi perubahan iklim dalam sektor pertanian padi.
Pertama, pemerintah harus membangun infrastruktur lokal yang sesuai dengan karakteristik sosio-ekologis setiap wilayah. Sentralisasi produksi pertanian harus dihindari, dan infrastruktur yang tangguh harus dibangun sesuai dengan sistem ekologis-sosial setempat.
Kedua, pemerintah harus meningkatkan akses petani gurem terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi seperti lahan, air, dan sarana produksi. Pasalnya, petani gurem merupakan mayoritas di Indonesia namun rentan terhadap guncangan
Ketiga, penguatan kapasitas masyarakat perdesaan secara luas melalui praktik adaptasi perubahan iklim.
Baca juga: Bantu Tangani Stunting, 400 Petani Muda di NTT Bangun Ketahanan Pangan
“Masyarakat perdesaan tidak hanya tentang pertanian. Pemahaman yang lebih luas tentang strategi penghidupan dan praktik adaptasi perubahan iklim di perdesaan dapat memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim,” tutur Ahmad dilansir dari siaran pers yang diterima Kompas.com.
Peneliti iklim dari Traction Energy Asia Ahmad Juang Setiawan menyampaikan, krisis iklim juga mengancam produktivitas kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya