KOMPAS.com - Meski menjadi salah satu energi terbarukan, pengembangan bioenergi berpotensi memperluas deforestasi untuk tanaman perkebunan.
Untuk diketahui, presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka menggagas Indonesia menjadi raja energi hijau dunia sebagai salah satu visi-misinya.
Untuk mencapai hal tersebut, bioenergi menjadi strategi utamanya, contohnya biodiesel yang berasal dari sawit dan bioetanol dari tebu.
Baca juga: Panas Bumi dan Bioenergi Potensial Jadi Beban Listrik Utama
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, bioenergi sebenarnya merupakan industri ekstraktif.
Pasalnya, bahan baku bioenergi seperti sawit untuk biodiesel dan singkong atau tebu untuk bioetanol membutuhkan lahan yang besar.
Jika kebutuhan bahan baku bioenergi meningkat, maka diperlukan penambahan pembukaan lahan yang berpotensi memperluas deforestasi.
"Singkong dan kelapa sawit butuh lahan yang besar (untuk bioenergi). Ancaman lahan adalah deforestasi," kata Iqbal dalam diskusi daring yang digelar Yayasan Indonesia Cerah dan diikuti secara daring, Rabu (27/3/2023).
Iqbal mencontohkan, kebutuhan minyak sawit mentah untuk skema business as usual (BaU) atau biodiesel B35 pada 2042 mencapai 67,1 juta ton.
Baca juga: Menengok Kembali Visi dan Misi Prabowo-Gibran soal Bioenergi
Jika implementasi biodiesel lebih agresif menjadi B50, kebutuhan minyak sawit mentah bisa mencapai 75,5 juta ton.
Dari skema tersebut, muncul asumsi kebutuhan akan lahan untuk menanam kelapa sawit yakni 16,35 juta hektare untuk implementasi biodiesel B35 pada 2042.
Bila biodiesel B50 diimplementasikan, luas kebun sawit untuk memenuhi permintaan minyak sawit mentah dapat mencapai 23 juta hektare.
"Sekarang kita punya 16,8 juta hektare (perkebunan sawit) asumsi dari Kementerian Pertanian. Jadi membutuhkan tambahan lahan sekitar 7 juta hektare (pada 2042)," ujar Iqbal.
Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengatakan, meski permintaan sawit untuk bioenergi naik, produktivitas kebun sawit Indonesia justru cenderung menurun.
Baca juga: 3 Pegiat Lingkungan Dorong Capres-Cawapres Kaji Ulang Kebijakan Bioenergi
Penurunan produktivitas sawit tersebut berpotensi melebarkan ekspansi perkebunan dan mengancam deforestasi yang lebh luas.
"Ini sangat disayangkan. Di satu sisi menggenjot biodiesel, tapi di sisi lain mengorbankan hutan kita yang tersisa," kata Eliza.
Untuk mencegah deforestasi lebih lanjut, salah satu yang bisa dilakukan agar produktivitas sawit adalah dengan peremajaan tanaman.
Total tanaman sawit yang rusak diperkirakan mencapai 5 juta hektare dan ditargetkan ada sekitar 2,5 juta hektare tanaman sawit yang diremajakan.
Namun sejauh ini, program peremajaan sawit tidak terlalu optimal, hanya 8 persen saja yang baru diremajakan dari target 2,5 juta hektare.
Baca juga: Bioenergi Beririsan dengan Pangan dan Lahan, Perlu Tenggat Waktu Transisi Energi
Di samping itu, mayoritas pengolahan sawit dilakukan oleh perusahaan swasta. Kondisi ini juga bakal bersinggungan dengan pangan.
Jika biodiesel digenjot, suplai untuk minyak goreng bisa berkurang. Pasalnya, pengusaha pasti lebih melirik harga jual yang lebih menarik.
Berkaca pada 2022, terjadi kelangkaan minyak goreng karena minyak sawit mentah banyak dipakai untuk biodiesel.
"Ini yang dikhawatirkan. Karena pemerintah tidak bisa intervensi, masyarakat jadi korban," papar Eliza.
Baca juga: Perluasan Bioenergi Bukan Solusi Utama Transisi Energi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya