Sejauh ini, berdasarkan penghitungan yang dilakukan IEA, metana berkontribusi sekitar 30 persen atas kenaikan suhu Bumi sejak Revolusi Industri.
Sedangkan menurut penelitian yang dipimpin Profesor Emeritus Euan Nisbet dari Royal Holloway University of London, peran metana terhadap iklim jauh lebih dominan.
Dalam penelitian Nisbet, metana menjadi biang keladi utama di setiap mencairnya periode zaman es.
Saat ini, emisi metana Bumi meningkat dengan cepat sejak 2006. Emisi metana dalam kurun 2006 sampai 2022, alias 16 tahun, setara dengan peningkatan metana mencairnya zaman es terakhir sekitar 12.000 tahun lalu.
Karena fenomena tersebut, kemungkinan besar Bumi akan mencapai iklim yang lebih hangat lebih cepat, sehingga membawa perubahan besar terhadap iklim planet ini.
Saking berbahayanya metana terhadap iklim di Bumi, berbagai pihak mulai meluncurkan satelit khusus untuk memantau secara akurat dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Terbaru, raksasa teknologi Google bekerja sama dengan Environmental Defense Fund meluncurkan satelit bernama MethaneSat yang melacak kebocoran metana secara lebih presisi dari sektor energi fosil, utamanya minyak dan gas.
Menurut data IEA, peningkatan emisi metana secara drastis saat ini tidak bisa dilepaskan dari campur tangan manusia.
Pada 2022, dari total emisi metana yang lepas ke atmosfer, 40 persen di antaranya berasal dari proses alamiah.
Sisanya, 60 persen emisi metana yang lepas ke atmosfer disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggunaan energi, pertanian, sampah, pembakaran, dan lainnya.
Sektor pertanian dan energi menjadi kontributor terbesar pelepasan emisi metana akibat aktivitas manusia.
Sementara itu, lima negara penghasil metana terbesar di dunia adalah China, India, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Brasil.
Secara keseluruhan, kelima negara tersebut bertanggung jawab atas hampir separuh emisi metana secara global.
Di sisi lain, komunitas internasional sebenarnya sudah menyepakati traktat pengurangan emisi metana bernama Global Methane Pledge.
Perjanjian antarnegara yang diluncurkan pada 2021 bertepatan COP21 tersebut menargetkan dapat memangkas emisi metana setidaknya 30 persen pada 2030 dengan baseline 2020.
Namun, tersisa tujuh tahun lagi untuk mencapai target tersebut, sedangkan tingkat emisi metana dari tahun ke tahun justru semakin meningkat.
Tanpa adanya komitmen dan aksi iklim yang ambisius dari para pemangku kepentingan, target yang diikrarkan hanya sebatas janji. Dan Bumi tempat kita hidup hanya ada satu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya