KOMPAS.com - Dalam laporan terkini bertajuk Pathways to Financial Sustainability for PLN through Renewable Energy Development, PT PLN (Persero) dinilai bisa mengatasi masalah keuangan dengan mempercepat pengembangan energi surya dan angin.
Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) tersebut menulis peningkatan kapasitas energi surya dan angin, serta berkurangnya batu bara, akan memangkas biaya pokok pembangkitan PLN, yang pada akhirnya menurunkan beban subsidi listrik negara.
Baca juga: Pertamina Hulu Energi Dalami Potensi Eksplorasi Hidrogen Natural
Penulis laporan dan Analis Keuangan Energi IEEFA Mutya Yustika menyebut, proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik yang dicanangkan pemerintah pada 2006-2015 mendorong ekspansi PLTU besar-besaran di Indonesia, ini menjadi beban keuangan bagi PT PLN (Persero) dan anggaran negara.
Percepatan pembangunan energi terbarukan dan penghentian operasi PLTU secara bertahap, menurutnya dapat menjadi solusi masalah ini. Pasalnya, subsidi dan kompensasi ke PLN telah mencapai Rp 123 triliun pada 2022.
“Subsidi dan kompensasi untuk PLN telah menjadi beban besar APBN, dan akan tetap demikian dalam tahun-tahun mendatang,” kata Yustika, Senin (13/5/2024).
Pemensiunan PLTU batu bara secara bertahap menawarkan sejumlah manfaat, seperti berkurangnya dampak volatilitas harga batu bara dan turunnya biaya perawatan secara signifikan.
Seiring masifnya pertumbuhan kapasitas PLTU, beban keuangan PLN juga turut meningkat lantaran adanya kewajiban kontrak dari Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).
Pada 2022, biaya operasi PLN mencapai Rp 386 triliun atau meningkat 20 persen dari 2021 sebesar Rp 323 triliun, yang didorong oleh pembayaran listrik ke produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) dan biaya pembelian batu bara.
Baca juga: Perdalam Kerjasama Transisi Energi, Dubes Tilley Kunjungi Indonesia
Biaya pembelian batu bara PLN pada 2022 tercatat mencapai 16 persen dari total biaya operasi.
Biaya ini meningkat hingga 49 persen dalam lima tahun, dari Rp 42,41 triliun pada 2017 menjadi Rp 63,06 triliun pada 2022.
Akan tetapi, peningkatan biaya tersebut tidak diikuti dengan pertumbuhan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara yang cukup besar, yang menandakan adanya potensi produksi energi yang tidak efisien.
Menurut Kementerian Keuangan, selisih antara rata-rata biaya pokok pembangkitan (BPP) dan tarif listrik akan menentukan besaran subsidi yang diberikan oleh negara.
“Namun, mengingat penyesuaian tarif listrik dapat memicu sentimen negatif masyarakat, PLN perlu menurunkan BPP agar dapat mengurangi ketergantungan pada subsidi. BPP ini termasuk biaya bahan bakar dan pelumas, salah satunya pembelian batu bara,” kata Yustika.
Baca juga: Pemerintah Terus Kembangkan Inovasi Energi Hijau, Termasuk Hidrogen
Selain subsidi, pemerintah juga memberikan kompensasi pendapatan pada PLN untuk menutup selisih tarif non-subsidi yang tidak naik sejak 2017.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat empat faktor yang mempengaruhi penyesuaian tarif non-subsidi, yakni tingkat inflasi, harga batu bara acuan (HBA), harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP), dan kurs rupiah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya