Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Masyarakat Adat yang Terlupakan

Kompas.com - 17/05/2024, 14:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jadi masyarakat adat dengan hutan adatnya sebenarnya sudah ada di Indonesia sebelum berdirinya negara NKRI.

Oleh karena itu, sesudah terbentuknya NKRI, pemerintah yang mengatur dan mengendalikan negara ini, melalui instrument regulasi/peraturan perundangan khususnya dalam pengurusan lahan tidak akan mungkin mengesampingkan keberadaan masyarakat adat dengan hutan adatnya.

Lihat saja, dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam penjelasan umum UU tersebut, disebut bahwa berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.

Misalnya, di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha), masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.

Sebaliknya, tidak dapat dibenarkan jika suatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk.

Pernyataan senada juga disebut dalam UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.

Dalam Pasal 17 disebut bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam UU ini.

Sayangnya, UU No. 41/1999 tentang kehutanan sebagai revisi dan penyempurnaan UU No. 5/1967, kurang berpihak kepada masyarakat adat dan hutan adat.

Kawasan hutan alam diputihkan semua menjadi hutan negara yang dianggap tidak berpenghuni manusia. Dampaknya, masyarakat adat yang keberadaannya turun temurun di kawasan hutan secara de facto (kenyataan di lapangan), secara de jure (hukum) harus diproses lagi melalui administrasi negara yang berbelit-belit dan panjang.

Bila tidak lalui proses ini, maka pengakuan dan legalisasi masyarakat adat dan hutan adatnya dianggap tidak sah. Pasal 67 UU No 41/1999 menyebut, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).

Pasal ini memberangus dan mempersempit keberadaan dan ruang gerak masyarakat adat yang secara de facto telah mengakar.

Dalam beberapa kasus konflik tenurial dengan masyarakat adat di daerah, seperti di Kalteng – konflik antara tokoh adat dengan perusahaan perkebunan sawit yang dituding mencaplok kawasan hutan adatnya- pemerintah daerah setempat malah menggunakan logika terbalik dengan berlindung pada pasal ini dan menyatakan bahwa daerah tersebut tidak/belum ada hutan adat secara legalitas (de jure).

Kesalahan beruntun

UU No 41/1999 telah digugat secara judicial review di Mahkamah Konstitusi oleh beberapa kalangan terkait dengan hutan adat dan masyarakat adatnya. Putusan MK No 35/PUU/IX/2012 belum menyelesaikan masalah, bahkan menjadi bagaian masalah itu sendiri hingga saat ini.

Kesalahan beruntun tidak saja terletak pada regulasi pemerintah yang sudah terbit, tetapi juga putusan MK yang belum konkret dan komprehensif menyelesaikan masalah.

Ada kesalahan yang terjadi sejak putusan MK tahun 2012 tersebut, yakni:

Pertama, putusan MK yang terkait dengan kehutanan tidak konkret dalam operasional di lapangan.

Masalahnya, putusan MK tersebut hanya menyebut bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara, tetapi tidak menyebut hutan adat adalah hutan hak.

Dalam UU No 41/1999 diatur hanya ada dua status, yakni hutan negara dan hutan hutan hak. Jadi kalau statusnya hutan adat bukan hutan negara, logikanya otomatis sebagai hutan hak.

Namun, ternyata dalam paradigma perundang-undangan tidak demikian adanya, kalau tidak secara tekstual (tertulis).

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau