Oleh karena itu, karena frasa hutan adat bukan hutan negara sifatnya menggantung, maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masih mengatur dan memperlakukan hutan adat sebagai hutan negara dan masih diatur oleh pusat secara detail (rigid).
Kedua, mestinya MK dalam amar putusannya juga menghapus Pasal 67 UU No 41/1999, khususnya terkait pengukuhan keberadaan dan legalitas hutan adat melalui Perda.
Bila tidak dihapus, setidak-tidaknya pasal tersebut diubah menjadi pengakuan dan keberadaan dan legalitas hutan adat ditetapkan melalui kepala daerah kabupaten/kota. Namun faktanya, putusan MK tidak mengubah Pasal 67 tersebut dan masih tetap berlaku.
Produk peraturan perundangan yang tertinggi di daerah adalah peraturan daerah sama halnya dengan UU di tingkat pemerintahan pusat. Dua produk hukum tersebut dibuat dan disusun oleh pemerintah dan anggota Dewan yang multi partai.
Menyusun Perda maupun UU tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama di tengah-tengah kepentingan politik berbeda-beda.
Jadi sangat wajar apabila Perda tentang pengukuhan dan legalitas hutan adat sulit diterbitkan oleh pemerintah daerah di tengah pemerintah daerah ingin menggenjot penerimaan asli daerah (PAD).
Sementara, legalisasi masyarakat hutan dan hutan adatnya dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi secara signifikan terhadap PAD dibandingkan lahan hutan tersebut diserahkan dan diusahakan kepada investor, misalnya perkebunan sawit.
Ganjalan terbesar dalam pengakuan dan legislasi hutan adat adalah adanya aturan melalui Perda ini. Sepanjang aturan ini masih berlaku, proses pengakuan hutan adat akan berjalan lambat.
Hingga April 2024, AMAN mencatat terdapat 342 produk hukum daerah yang telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat dan wilayah adatnya.
Menurut badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), terdapat 26,9 juta ha wilayah adat di seluruh Nusantara yang telah teregistrasi di BRWA.
Dari luasan wilayah adat tersebut, hanya 14 persen yang diakui negara. Sebab KLHK baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 ha.
Ketiga, pada tahun 2021, sedianya RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) akan segera disahkan oleh DPR sesuai dengan program legislasi nasional (prolegnas) saat itu. Namun RUU MHA tersebut banyak ditentang oleh beberapa kalangan karena tidak mencerminkan aspirasi MHA.
Selain mengancam keberadaan masyarakat adat, juga risiko benturan dan konflik pemakaian lahan berbasis izin yang makin menguat.
Karena tekanan dari berbagai kalangan, maka RUU MHA urung disahkan hingga sekarang dan dikaji kembali materi dan substansi yang ada di dalamnya.
Entah sampai kapan, karena anggota DPR periode 2019-2024 akan segera berakhir masa baktinya pada Oktober 2024 nanti.
Lalu, untuk sementara mimpi masyarakat hukum adat untuk memperoleh dan menuntut hak-hak termasuk hak ulayat dengan hutan adatnya secara berkeadilan, ditunda lebih dulu sampai pemerintah dan DPR (pusat dan daerah) pada gilirannya telah melakukan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat. Jangan sampai MHA terlupakan. Semoga.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya