Sebaran pencemaran air pun cukup massif. Menurut data Potensi Desa (Podes) 2021, pencemaran air terjadi di 10.683 desa/kelurahan atau mencapai 12,7 persen.
Parahnya, sumber pencemarannya sebagian besar adalah rumah tangga, mencapai 57,66 persen atau tersebar di 6.160 desa/kelurahan.
Sementara, pencemaran air yang bersumber dari industri atau usaha tersebar di 42,09 persen atau 4.496 desa/kelurahan.
Fakta ini mengungkap bahwa manusia sendirilah yang menjadi dalang atas turunnya kualitas air bersih, karena aktivitasnya mendominasi pencemaran air.
Pertumbuhan penduduk dan usaha meningkatkan permintaan air bersih, sekaligus peningkatan pembuangan air tidak layak konsumsi. Parahnya, sebagian besar usaha rumah tangga tidak memiliki sistem pengolahan air limbah.
Meski demikian, perkembangan rumah tangga yang menggunakan sumber air minum layak cukup progresif. Satu dasawarsa terakhir, penggunaan air bersih meningkat 23,79 persen poin dari 67,93 persen tahun 2013 menjadi 91,72 persen pada tahun 2023.
Meningkatkan kualitas hidup rumah tangga, perlu sosialisasi yang masif dan berkelanjutan, supaya dampak pencemaran air bisa diredam. Bila perlu penindakan berat bagi orang atau pelaku usaha yang melakukan pencemaran.
Sayangnya, penduduk yang tinggal di pulau kecil menggantungkan hidupnya dengan air hujan. Hasil statistik Potensi Desa (Podes) 2021, ada 3.280 desa/kelurahan menggunakan air hujan yang sebagian besar keluarga menggunakan mata air untuk minum.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki tantangan penyediaan sumber air besih di pulau-pulau kecil tanpa ketersediaan sumber air tawar.
Sebagai informasi, selain tersebarnya pulau-pulau di Nusantara, pulau kecil pun dikelola dengan baik.
Setidaknya ada 111 pulau terluar yang dijaga dan dikelola sebagai garis pangkal batas wilayah negara Indonesia dengan negara lain, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Keterbatasannya, pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau besar. Hal ini berarti lebih sedikit air hujan yang dapat ditampung dan disimpan untuk digunakan.
Sementara itu, di beberapa pulau kecil, sumber air tanah tidak tersedia atau jumlahnya terbatas. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor geologi pulau, seperti batuan yang tidak berpori atau intrusi air laut.
Sehingga, air hujan menjadi satu-satunya sumber air tawar. Hal ini membuat pulau-pulau tersebut rentan terhadap kekeringan, terutama di musim kemarau.
Dari sisi lingkungan, perubahan iklim dapat menyebabkan pola curah hujan menjadi lebih tidak menentu, dengan periode kekeringan yang lebih sering dan parah. Hal ini dapat memperburuk kesulitan air di pulau-pulau kecil.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya