Diskusi ini menggunakan media pembelajaran yang dikembangkan Terawang Indonesia bernama Sisi Bulat.
Melalui proses diskusi ini muncul beragam insight terkait persoalan pangan yang dihadapi oleh masyarakat adat. Salah satunya terkait peran adat dalam ketahanan pangan komunitas.
“Biasanya dalam perayaan adat terutama ritual syukur atas hasil panen, bahan pangan komunitas akan digunakan untuk kebutuhan ritual, dan ini mengurangi stok pangan masyarakat dalam beberapa bulan kedepan,” ujar Desmon, Program Manager Karsa Institue, pendamping komunitas adat To Kulawi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat adat terhadap ketahanan pangan sangat tinggi, termasuk kebutuhan ritual yang menjadi identitas masyarakat adat.
Sehingga perlu strategi dalam mengatasi persoalan kurangnya ketersediaan pangan bagi komunitas dan keluarga, serta isu gagal panen karena perubahan iklim, persoalan hama, pupuk, dan bibit.
Sistem ini merupakan kombinasi dari komponen sumber daya kehutanan, pertanian, dan juga peternakan pada pengelolaan lahan yang sama.
Sistem agrosilvopastura dilakukan dengan sejumlah tahapan seperti pembentukan kader dalam komunitas, pelatihan dan penyuluhan mengenai sistem agrosilvopastura dalam membangun ketahanan pangan.
Selain itu pertanian organik dengan pemanfaatan bahan alami lokal dan pemanfaatan kebun dan pekarangan untuk pertanian organik serta praktik pembuatan pupuk, pelatihan pembuatan silase dan pupuk hijau dan juga pembuatan demplot pertanian organik tanaman sayuran.
Sebagian besar masyarakat adat Kaluppini bekerja di sektor pertanian dan peternakan dengan beberapa jenis tanaman jangka pendek, seperti jagung, kacang tanah, dan bawang merah, serta tanaman jangka panjang, seperti cengkih, kemiri, kakao, dan pala.
Mereka juga menanam padi setahun sekali pada sawah tadah hujan, sehingga pola tanam bergantung pada musim penghujan. Sementara musim hujan di Desa Kaluppini mulai berubah sehingga petani sulit menentukan kapan musim tanam.
Sulawesi Community Foundation (SCF) sebagai salah satu mitra program Estungkara yang mendampingi masyarakat adat Kaluppini dalam menerapkan sistem ini guna membantu masyarakat dalam mengatasi persoalan ketersediaan pangan.
Assesment awal menunjukkan bahwa masyarakat adat kesulitan mendapatkan pupuk dan bibit. Mereka masih bergantung pada subsidi dari pemerintah. Di sisi lain persoalan limbah dan sampah rumah tangga juga muncul dari hasil assessment ini.
“Masyarakat mengeluhkan banyak kotoran sapi di mana-mana, sehingga lingkungan menjadi kotor dan banyak lalat. Padahal hal ini bisa digunakan dan diolah untuk mendorong produksi pertanian sebagai pupuk. Termasuk juga sampah rumah tangga yang belum dimaksimalkan fungsinya,” ujar Sultan, Program Manager SCF saat mendampingi pelatihan kader yang akan menerapkan sistem agrosilvopastura.
Sistem ini akan diujicobakan selama beberapa bulan kedepan sejak April 2024 lalu. Para kader yang berjumlah hampir 20 orang dilatih bagaimana membuat pupuk, MOL (mikro organisme lokal) yang nantinya digunakan untuk kebutuhan pembuatan pupuk organik padat maupun cair, serta juga dilatih bagaimana membuat pakan ternak.
Persoalan ternak juga menjadi isu di komunitas ini, karena saat memasuki musim kemarau, mereka sulit mencari rumput untuk makanan ternak karena rumput menjadi kering.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya