JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur dari Indonesia ke negara lain, telah mengalami sejumlah perubahan aturan dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tb. Haeru Rahayu mengatakan, sebelum 2015, tidak ada peraturan terkait ekspor benur lobster.
Kemudian, aturan pelarangan ekspor benur diterbitkan di era Menteri KP Susi Pudjiastuti pada 2016. Hingga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) terkait kebijakan ekspor BBL telah berganti sedikitnya enam kali hingga saat ini.
Untuk diketahui, per Mei 2024, pemerintah masih melarang kegiatan ekspor benih bening lobster.
Baca juga: BRIN dan OceanX Gali Keanekaragaman Hayati Laut Dalam Indonesia
Hal ini tertulis dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di wilayah perairan Indonesia.
Terbaru, KKP mengatakan tengah menyusun rancangan kebijakan terkait membuka kembali ekspor benih bening lobster ke luar negeri, seperti Vietnam.
Regulasi ini disebut bertujuan mendorong produktivitas budidaya lobster nasional dengan menggandeng negara yang sudah berhasil melakukan budidaya komoditas tersebut.
Dirjen Perikanan Budidaya KKP Tb. Haeru Rahayu berupaya menerapkan konsep ekonomi biru (blue economy) dalam mengelola kelautan dan perikanan di Indonesia.
Penerapan blue economy disebut bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelestarian ekosistem laut, serta membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja.
Alasan inilah, menurutnya, yang menjadi dasar wacana kebijakan membuka kembali ekspor BBL atau benur lobster ke luar negeri.
Baca juga: Berkat Laut dan Awan, Indonesia Masih Aman dari Gelombang Panas
Tidak hanya untuk menekan tingkat penangkapan ilegal dan menjaga ekosistem lautan, tetapi juga meningkatkan investasi dan pendapatan negara melalui kerja sama ekspor.
"Kami mencoba mendorong supaya bagaimana kegiatan budidaya ini ada lompatan-lompatan. Kalau penangkapan dikendalikan, budidayanya coba kita tingkatkan," ujar Haeru dalam acara diskusi "Indonesia Aquaculture View Forum: Pro Kontra Buka Tutup Kebijakan Ekspor Benih Benur Lobster Menuju Perikanan Emas 2045" di Jakarta, Senin (27/5/2024).
Ia menjelaskan, KKP telah melakukan modeling hingga membuat kampung-kampung perikanan budidaya BBL, demi menunjukkan bahwa Indonesia mampu mengelola budidaya secara mandiri.
Kendati demikian, selama beberapa tahun terakhir ekspor benih lobster dilarang, Haeru menyebut kasus ekspor benur ilegal masih sangat banyak terjadi. Sehingga, pemerintah menyadari adanya kerugian besar dan ancaman kerusakan ekosistem akibat penyelundupan.
Oleh karena itu, kerja sama perikanan menjadi jalan masuknya investasi budidaya lobster di Indonesia dari para pelaku usaha Vietnam.
Baca juga: Konservasi Laut, Pupuk Kaltim Turunkan 6.882 Terumbu Karang Sejak 2011
"Selama dilakukan pelarangan, tujuannya memang baik untuk mencoba mengamankan sumber daya alam. Namun fakta di lapangan, meski sudah ada dua kali pergantian Permen KP ini, kami juga banyak dikritisi (karena ekspor ilegal)," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah akan memenuhi pemintaan benih bening lobster dengan syarat pelaku usaha Vietnam melakukan budidaya di Indonesia.
Apabila Indonesia memberikan 300 juta bibit untuk Vietnam, keuntungan yang diperoleh dapat mencapai Rp 1,5 triliun, seperti dikutip dari Kompas.com (11/1/2024).
Menanggapi banyaknya pro dan kontra terkait pembukaan ekspor, Haeru menyebut, jika nantinya ekspor benur lobster benar-benar dibuka, pemerintah telah menyiapkan sejumlah syarat dan ketentuan bagi negara yang bekerjasama.
"Maka kita diskusi, langkah terbaik berikan ruang pada pemerintah, pada investor, pada pelaku usaha di Vietnam, dengan catatan ada Goverment to Goverment (GtG), tidak asal semuanya," papar dia.
Melalui kerja sama ini, diharapkan Indonesia bisa menerima manfaat besar. Sebab, kerja sama dengan Vietnam dinilai akan membentuk multiplier effect.
Seperti akan membangun supply chain, terjadinya transfer teknologi dan pengetahuan budidaya lobster bagi pembudidaya Tanah Air, hingga menekan praktek ilegal ekspor benur yang terbukti merugikan negara hingga triliunan rupiah per tahun.
"Budidaya kita harapkan meningkat karena ada alih teknologi, negara mendapat pendapatan, dan Insya Allah itu akan kembali kepada masyarakat, lapangan pekerjaan bisa terbuka, dan seterusnya," tutur Haeru.
Baca juga: AIS Forum Gandeng Akademisi Kembangkan Sistem Perikanan Berkelanjutan
Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPR RI F-PKB Daniel Johan mengkritisi wacana membuka kembali ekspor benih lobster. Kerja sama ini perlu persiapan dan pertimbangan matang, sehingga tidak lagi merugikan Indonesia.
Sebab, menurutnya, perubahan aturan dalam beberapa tahun terakhir merefleksikan belum tuntasnya KKP dalam menyusun roadmap yang jelas terkait pengelolaan dan budidaya perikanan.
"Kalau budidaya di negara lain dianggap sebagai bagian negara kita, itu harus dikaji lebih dalam. Karena tentu peraturan di negara tersebut yang berlaku, kita hanya sebatas MoU meskipun Goverment to Goverment (GtG)," ujar Daniel.
Apalagi, Pemerintah Vietnam saat melakukan kerja sama juga telah mengakui adanya beberapa tantangan yang mereka hadapi. Sehingga, aturan kebijakan nantinya harus betul-betul bisa menguntungkan kedua belah pihak.
"Kami berharap kebijakan ke depan itu punya keseimbangan, antara kesejahteraan, keberlanjutan, dan pertumbuhan. Karena segitiga keseimbangan ini sangat penting. Justru kementerian (KKP) dibentuk untuk mengambil kebijakan yang pas agar segitiga ini berjalan dengan baik," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya