JAKARTA, KOMPAS.com - Konsep green election (pemilu hijau) dalam sistem demokrasi sebuah negara dinilai penting demi keberlanjutan lingkungan di masa depan.
Direktur Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) Willem Pattisarany mengatakan, jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar serentak pada November 2024, isu hijau dan lingkungan harus menjadi sorotan.
"Isu (hijau) ini menurut IWGFF penting untuk Pilkada. Karena kebijakan-kebijakan di daerah terkait sumber daya alam itu sangat berkaitan dengan siapa kandidatnya dan siapa yang akan terpilih sebagai pemimpin daerah," ujar Willem saat Media Briefing "Pilkada 2024, Sarana untuk Mewujudkan Green Democratic" di Jakarta, Senin (24/6/2024).
Baca juga: Krisis Iklim dan Isu Lingkungan Kurang Diulas Media Daring
Isu lingkungan menjadi penting dibicarakan jelang Pilkada. Sebab, beberapa permasalahan seperti pengelolaan sampah atau pengolahan limbah memang masih bisa diselesaikan di tingkat kabupaten/kota.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah isu-isu lingkungan yang telah berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), seperti kepemilikan lahan hingga kebun.
"Yang mengkhawatirkan itu isu besar seperti lahan dan perkebunan, tambang, dan lain sebagainya. Makanya penting untuk kita intervensi," imbuh Willem.
Pasalnya, pada era saat ini, demokrasi yang terbangun cenderung melahirkan praktik-praktik demokrasi yang merampas hak-hak lingkungan.
Apalagi, secara umum, para kandidat berasal partai politik yang di belakangnya seringkali banyak figur perusahaan atau korporasi, yang kurang mengutamakan masa depan lingkungan.
Sementara itu, Koordinator Komunitas Pemilu Bersih (KoPi Bersih) Jeirry Sumampow menuturkan, isu tentang demokrasi atau pemilu hijau telah menjadi perhatian di dunia. Sebab, posisi pemimpin dapat mempengaruhi bagaimana kelestarian bumi ini terjaga.
Adanya lahan-lahan hijau di berbagai daerah menegaskan pentingnya posisi kepala daerah yang bisa mempertahankannya.
Sebab, saat ini kewenangan daerah untuk mengelola dan mengatur sumber daya alamnya sudah sangat dibatasi, dan cenderung dilimpahkan kepada pemerintah pusat.
Baca juga: Produk UMKM yang Fokus Isu Lingkungan Punya Pasar Luas
"Misalnya dengan Undang-Undang Cipta Kerja, otonomi daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan karakteristik dan kekhasan daerahnya menjadi hilang," tutur Jeirry.
Padahal awalnya desa memiliki semacam peraturan yang dapat melindungi areanya untuk tidak dieksploitasi demi kepentingan ekonomi tertentu.
"Sebetulnya daerah punya otonomi untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri. Bahkan dalam UU desa, desa itu punya otoritas untuk melindungi sumber daya alamnya. Jadi kalau ada industri mau masuk ke sana, ada korporasi mau masuk, desa bisa menolak," ungkap Jeirry.
Oleh karena itu, pihaknya bersama dengan Indonesia Working Grup on Forest Finance (IWGFF) dan Jaringan Masyarakat Peduli Demokrasi (JMPD) berupaya mendorong agenda hijau agar menjadi perhatian para kandidat, penyelenggara, maupun masyarakat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya