KOMPAS.com - Penerapan teknologi penangkap dan penyimpan karbon (CCS) serta implementasi co-firing biomassa dinilai perlu ditimbang ulang dalam penyusunan Nationally Determined Contributions (NDC) Kedua Indonesia.
Analis Sistem Ketenagalistrikan Institute for Essential Services Reform (IESR) Akbar Bagaskara mengatakan, penerapan CCS di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tidak efektif dan efisien.
Selain itu, penerapan CCS juga berpotensi memperpanjang usia PLTU di samping nilai keekonomiannya yang mahal. Teknologi ini juga dinilai belum terbukti di lapangan.
Baca juga: Padang Lamun akan Dimasukkan Komitmen Penurunan Emisi NDC
Apabila CCS telanjur dimasukkan dalam NDC Kedua dan teknologi tersebut tidak terimplementasi, justru akan menjadi bumerang dalam transisi energi.
"Jadinya malah stranded asset (aset terdampar) dan kita terlambat membangun penggantinya berupa energi terbarukan," kata Akbar dalam Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia yang diikuti secara daring, Selasa (25/6/2024).
Akbar menambahkan, penerapan co-firing atau campuran biomassa untuk bahan bakar batu bara di PLTU juga perlu ditimbang ulang.
Sama seperti CCS, ada dua kekhawatiran dimasukkannya co-firing dalam NDC kedua yakni aset yang terdampar atau memperpanjang usia PLTU.
Dia menuturkan, aspek stok biomassa juga perlu menjadi perhatian khusus.
Baca juga: Susun Target Iklim Kedua, RI Masukkan Sektor Kelautan dalam Second NDC
"Permasalahan biomassa juga sangat dekat dengan sektor FOLU (forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan)," tutur Akbar.
Oleh karena itu, kata Akbar, perlu verifikasi terhadap klaim penurunan emisi dengan mempertimbangkan emisi dari siklus hidup biomassa yang menjadi bahan bakar.
"Jangan pengurangan emisi mengganggu penyerapan emisi dari sektor lain, terutama sektor FOLU," terang Akbar.
Secara umum ada, beberapa rekomendasi dari IESR untuk penyusunan NDC Kedua Indonesia.
Pertama, sejalan dengan prinsip-prinsip Perjanjian Paris seperti mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan terhindar penghitungan ganda.
Baca juga: Menhut Resmikan RKKIK untuk Dukung Capai Target NDC
Kedua, perlu adanya monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik.
Ketiga, NDC Kedua perlu sesuai hasil COP28 yakni berorientasi pada aksi, berorientasi pada implementasi, dapat diinvestasi, dan transisi berkeadilan.
Keempat, NDC Kedua perlu menggunakan penghitungan relatif pada tahun tertentu.
Kelima, Indonesia perlu lebih ambisius dalam mengurangi emisi agar selaras dengan Perjanjian Paris.
Keenam, perlu adanya prinsip keadilan iklim yang dimunculkan dalam dokumen NDC Indonesia.
Baca juga: Kejar Target NDC, Agincourt Gencarkan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Program Officer Hutan & Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Yosi Amelia menuturkan, penyusunan NDC Kedua perlu memperhatikan tiga tujuan utama Perjanjian Paris.
Pertama, mengurangi emisi untuk membatasi kenaikan temperatur Bumi. Kedua, adaptasi iklim untuk semua orang untuk mengurangi kerentanan penduduk. Ketiga, adanya mekanisme pembiayaan yang adil.
Yosi mengatakan, NDC adalah jantung dari Perjanjian Paris untuk bersama-sama membatasi suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
"Kalau bicara NDC, kita harur berupaya agar jantung supaya tetap hidup," ucap Yosi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya