“Potensinya sangat besar, baik dari segi sumber daya di sektor green economy maupun blue economy. Indonesia menempati peringkat satu atau dua di dunia dalam bisnis kredit karbon dan biomassa. Jadi, potensinya memang luar biasa,” kata Michael.
Kendati demikian, di balik peluang tersebut terdapat tantangan besar dari sisi kesenjangan pemahaman dan kesiapan sumber daya manusia (SDM).
Michael menjelaskan, sektor swasta sering kali masih belum memiliki pandangan yang sama terhadap definisi dan penerapan green jobs. Menurutnya, masih banyak pihak swasta yang menganggap pekerjaan hijau hanya terbatas pada bidang lingkungan, teknik, pertanian, ataupun energi terbarukan.
“Padahal, pekerjaan apa pun bisa saja menjadi green jobs,” terangnya.
Sebagai contoh, pekerjaan urban planner yang melakukan pengelolaan tata kota, bisa menjadi green jobs. Misalnya, mereka dapat ditugaskan untuk menyusun rencana pengurangan emisi karbon hingga 40 persen dalam 10 tahun.
Sementara dari sisi SDM, menurut Michael, untuk menyambut peluang tersebut dibutuhkan SDM transformatif yang menjadi kunci kesetaraan peluang.
“Hal itu penting untuk disiapkan. Sayangnya, kesadaran ini baru muncul belakangan,” ungkapnya.
Michael mengatakan, sektor pendidikan di Indonesia saat ini masih terkesan “kejar tayang” dalam menyiapkan SDM yang mampu memenuhi kebutuhan di sektor ekonomi hijau. Oleh karena itu, harus segera dilakukan investasi, komitmen, serta percepatan, baik dari sisi industri maupun pendidikan.
“Dunia pendidikan tidak bisa bergerak sendiri. Industri dan dunia usaha harus mendekatkan diri karena mereka yang akan menggunakan SDM yang dihasilkan,” imbuhnya.
Sebab, jika lulusan tidak memiliki kompetensi yang cukup, dunia usaha dan industri tidak bisa berakselerasi untuk mencapai target mereka. Oleh karena itu, kolaborasi antara pendidikan dan industri penting untuk mendukung tujuan nasional dalam pelestarian lingkungan.
Michael mengatakan, sektor industri perlu menyusun kompetensi apa saja yang dibutuhkan terkait green jobs. Di sisi lain, sektor pendidikan juga harus melakukan sejumlah inisiatif, seperti peningkatan kompetensi dan pemahaman tenaga pendidik terkait green jobs.
Sebagai contoh, dosen akuntansi harus mengerti hubungan akuntansi dengan kegiatan ekonomi hijau. Begitu juga dengan pendidik di sektor lain.
“Mereka harus tahu apa saja yang perlu diubah atau disesuaikan supaya lulusan perguruan tinggi relevan dengan industri di masa depan, termasuk tren ekonomi hijau,” kata Michael kepada Kompas.com.
Namun, sektor pendidikan tinggi sering kali juga belum menyadari peran mereka dalam mendorong praktik green jobs.
“Sektor pendidikan tinggi belum tentu menyadari bahwa setiap ilmu dan setiap fakultas itu bisa berkontribusi terhadap green economy dan blue economy,” tuturnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya