Lebih lanjut, laporan juga menyebutkan bagaimana separuh penduduk miskin dunia menyumbang kurang dari 3 persen titik data kualitas air global.
Hal tersebut menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas pemantauan air.
Kurangnya data pada skala tersebut berarti bahwa pada tahun 2030 lebih dari separuh umat manusia akan tinggal di negara-negara yang tidak memiliki data kualitas air yang memadai untuk menginformasikan keputusan pengelolaan yang terkait dengan penanganan kekeringan, banjir, dampak dari limbah cair, dan limpasan pertanian.
Baca juga: Perubahan Iklim Sebabkan Karhutla di Mediterania Timur Makin Parah
UNEP pun merekomendasikan perluasan dan pengembangan program pemantauan rutin yang didanai pemerintah, serta menggabungkan ilmu pengetahuan warga ke dalam program nasional tersebut, dan mengeksplorasi potensi pengamatan Bumi berbasis satelit dan produk data yang dimodelkan untuk membantu mengisi kesenjangan data.
Menyeimbangkan kebutuhan yang bersaing untuk penggunaan air berkelanjutan dari masyarakat dan ekonomi sendiri memerlukan penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu (IWRM) di seluruh sektor.
Kini, setidaknya 47 negara telah sepenuhnya mencapai atau hampir mencapai IWRM, 63 negara perlu mempercepat penerapan, sementara 73 negara hanya memiliki kapasitas terbatas untuk IWRM.
Pada tingkat kemajuan yang dilaporkan saat ini, dunia baru akan mencapai pengelolaan air berkelanjutan pada tahun 2049.
Artinya pada tahun 2030 setidaknya 3,3 miliar orang di lebih dari 100 negara kemungkinan akan memiliki kerangka tata kelola yang tidak efektif untuk menyeimbangkan permintaan air.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya