KOMPAS.com - Setengah dari negara di dunia menurut laporan dari UN-Water dan Program Lingkungan PBB (UNEP) mengalami degradasi sistem air tawar.
Dalam laporan tersebut, UNEP menjelaskan satu atau lebih jenis ekosistem air tawar, termasuk sungai, danau, dan akuifer menurun secara signifikan.
Sementara badan air menyusut atau hilang, air sekitar semakin tercemar, dan pengelolaan air tidak sesuai rencana.
Serangkaian laporan tiga tahunan dari UNEP ini sendiri difokuskan pada kemajuan menuju pencapaian tujuan air bersih dan sanitasi untuk semua (SDG 6) melalui perlindungan dan pemulihan sumber air tawar.
"Planet kita sedang mengalami kekurangan sumber daya dan badan air tawar yang sehat, dengan prospek yang suram bagi ketahanan pangan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati,” kata Dianna Kopansky, Kepala Unit Air Tawar dan Lahan Basah, Divisi Ekosistem di UNEP, dikutip dari Eco Business, Rabu (4/9/2024).
Baca juga: Mengendalikan Ekosistem Air Tawar
Menurut Kopansky, komitmen politik global untuk pengelolaan air berkelanjutan tidak pernah setinggi seperti sekarang ini termasuk melalui pengesahan resolusi air pada Sidang Lingkungan PBB terakhir pada bulan Februari.
Tetapi komitmen tersebut tidak diimbangi dengan pendanaan atau tindakan yang diperlukan. Kita juga memerlukan kebijakan perlindungan dan pemulihan untuk menghentikan degradasi tersebut.
Laporan UNEP membeberkan pula bahwa 90 negara, sebagian besar di Afrika, Asia Tengah dan Tenggara, mengalami degradasi satu atau lebih ekosistem air tawar. Sedangkan wilayah lain seperti Oseania, mengalami perbaikan.
Polusi bendungan, alih fungsi lahan, pengambilan air secara berlebihan, dan perubahan iklim berkontribusi terhadap degradasi ekosistem air tawar.
Pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan bahkan membuat aliran sungai telah menurun di 402 cekungan di seluruh dunia. Jumlah ini meningkat lima kali lipat sejak tahun 2000.
Selain itu, Hilangnya hutan bakau akibat aktivitas manusia (misalnya, akuakultur dan pertanian) menimbulkan risiko bagi masyarakat pesisir, sumber daya air tawar, keanekaragaman hayati, dan iklim karena sifat penyaringan air dan penyerapan karbonnya.
Baca juga: Studi: Kelompok Rentan Paling Banyak Menanggung Dampak Perubahan Iklim
Penurunan hutan bakau yang signifikan dilaporkan terjadi di Asia Tenggara, meskipun tingkat deforestasi bersih secara keseluruhan telah mendatar dalam dekade terakhir.
Danau dan badan air permukaan lainnya juga menyusut atau hilang seluruhnya di 364 cekungan di seluruh dunia.
Tingkat partikel dan nutrisi yang terus tinggi di banyak danau besar dapat menyebabkan mekarnya alga dan air dengan oksigen rendah, yang terutama disebabkan oleh pembukaan lahan dan urbanisasi, serta peristiwa cuaca tertentu.
Meskipun demikian, pembangunan waduk berkontribusi pada perolehan bersih air permanen global, terutama di wilayah seperti Amerika Utara, Eropa, dan Asia.
Lebih lanjut, laporan juga menyebutkan bagaimana separuh penduduk miskin dunia menyumbang kurang dari 3 persen titik data kualitas air global.
Hal tersebut menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas pemantauan air.
Kurangnya data pada skala tersebut berarti bahwa pada tahun 2030 lebih dari separuh umat manusia akan tinggal di negara-negara yang tidak memiliki data kualitas air yang memadai untuk menginformasikan keputusan pengelolaan yang terkait dengan penanganan kekeringan, banjir, dampak dari limbah cair, dan limpasan pertanian.
Baca juga: Perubahan Iklim Sebabkan Karhutla di Mediterania Timur Makin Parah
UNEP pun merekomendasikan perluasan dan pengembangan program pemantauan rutin yang didanai pemerintah, serta menggabungkan ilmu pengetahuan warga ke dalam program nasional tersebut, dan mengeksplorasi potensi pengamatan Bumi berbasis satelit dan produk data yang dimodelkan untuk membantu mengisi kesenjangan data.
Menyeimbangkan kebutuhan yang bersaing untuk penggunaan air berkelanjutan dari masyarakat dan ekonomi sendiri memerlukan penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu (IWRM) di seluruh sektor.
Kini, setidaknya 47 negara telah sepenuhnya mencapai atau hampir mencapai IWRM, 63 negara perlu mempercepat penerapan, sementara 73 negara hanya memiliki kapasitas terbatas untuk IWRM.
Pada tingkat kemajuan yang dilaporkan saat ini, dunia baru akan mencapai pengelolaan air berkelanjutan pada tahun 2049.
Artinya pada tahun 2030 setidaknya 3,3 miliar orang di lebih dari 100 negara kemungkinan akan memiliki kerangka tata kelola yang tidak efektif untuk menyeimbangkan permintaan air.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya