Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemenkes: Polusi Udara Faktor Resiko Kematian ke-5 di Indonesia

Kompas.com, 15 Oktober 2024, 19:59 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa polusi udara dapat menyebabkan penyakit yang berujung pada kematian.

Direktur Penyehatan Lingkungan Kesehatan, Kemenkes, Anas Ma'ruf menjelaskan, berbagai riset menemukan ada beberapa penyakit akibat polusi.

“Berbagai riset yang ada menunjukkan bahwa polusi udara ini merupakan faktor risiko kematian tertinggi ke-5 di Indonesia,” ujar Anas pada acara Climate & Air Quality Fair 2024 di Kantor BMKG, Jakarta, Selasa (15/10/2024).

Baca juga: Pakar UI: BBM Berkualitas Tinggi Mampu Kurangi Polusi Udara

Berdasarkan data yang dipaparkan Anas, mengutip IHME Global Burden of Disease 2019, di Indonesia ada lebih dari 123.000 kematian setiap tahun akibat polusi udara.

Beberapa penyakit yang beresiko kematian itu, antara lain penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, asma, kanker paru, dan tuberkulosis (TBC).

Penyakit pernafasan perlu biaya besar

Tak hanya beresiko kematian, sejumlah penyakit pernapasan juga termasuk memiliki beban biaya yang tertinggi.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada 2022, total penyakit pernapasan yang disampaikan Anas mencapai biaya sekitar Rp 10 triliun.

“Data yang kami dapatkan di tahun 2022, untuk penyakit terkait dengan respirasi seperti pneumonia, TBC, ISPA, asma, kanker paru obstruktif kronis, itu membutuhkan biaya kurang lebih Rp 10 triliun,” terang dia.

Dalam data paparan yang disampaikan Anas, angka tertinggi adalah pneumonia dengan beban biaya sekitar Rp 5,8 triliun. Lalu kedua adalah TBC di angka Rp 1,3 triliun. Ketiga yakni Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Rp 1,1 triliun, dan terakhir asma sebesar Rp 602 juta.

Baca juga: Polusi Mikroplastik Diperkirakan akan Terus Meningkat

“Demikian juga kanker paru membutuhkan biaya banyak,” terangnya.

Saat ini, menurutnya, pemerintah tengah memfokuskan perhatuan terhadap tuberculosis (TBC) karena angka TBC di Indonesia merupakan tertinggi ke-2 di dunia.

“Kurang lebih 1.090.000 di tahun 2024, ini estimasi kasus baru untuk TBC, dan itu harus kita temukan dan obati,” ujarnya.

Selain itu, penyakit pernapasan lain seperti ISPA dan kanker paru juga terus meningkat.

Menurut data yang disampaikan Anas, di DKI Jakarta, tren penyakit pernafasan meningkat dalam satu tahun terakhir.

Dari data Nafas Indonesia terbaru, kasus ISPA di DKI Jakarta meningkat dari 50.000 pasien pada Januari 2021, menjadi sekitar 150.000 pasien pada Juni 2023.

“Jadi ini perlu kita sama-sama mengatasi kualitas udara, baik di Jakarta maupun di beberapa kota besar di Indonesia,” pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Pemerintah
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
LSM/Figur
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Pemerintah
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Swasta
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
Pemerintah
Survei Morgan Stanley: 80 Persen Investor Siap Tambah Alokasi Investasi Berkelanjutan
Survei Morgan Stanley: 80 Persen Investor Siap Tambah Alokasi Investasi Berkelanjutan
Pemerintah
Maybank Gandeng YKAN Berdayakan Petani Kakao Perempuan di Berau
Maybank Gandeng YKAN Berdayakan Petani Kakao Perempuan di Berau
Swasta
Dukung Pemerintah Bangun 33 PLTSa pada 2029, PLN Siap Jadi Kunci Ekosistem 'Waste-to-Energy'
Dukung Pemerintah Bangun 33 PLTSa pada 2029, PLN Siap Jadi Kunci Ekosistem "Waste-to-Energy"
BUMN
Ruang Terbuka Hijau untuk Lindungi Kesehatan Mental Seluruh Dunia
Ruang Terbuka Hijau untuk Lindungi Kesehatan Mental Seluruh Dunia
Pemerintah
Perubahan Iklim di Pegunungan Melesat Cepat, Ancam Miliaran Orang
Perubahan Iklim di Pegunungan Melesat Cepat, Ancam Miliaran Orang
LSM/Figur
Dorong Praktik Hotel Berkelanjutan, Swiss-Belhotel International Indonesia Targetkan 100 Persen Telur Bebas Kandang pada 2035
Dorong Praktik Hotel Berkelanjutan, Swiss-Belhotel International Indonesia Targetkan 100 Persen Telur Bebas Kandang pada 2035
Advertorial
COP30 Berakhir Mengecewakan, Brasil dan RI Gagal Dorong Komitmen Cegah Deforestasi
COP30 Berakhir Mengecewakan, Brasil dan RI Gagal Dorong Komitmen Cegah Deforestasi
LSM/Figur
Bibit Siklon Tropis Terpantau, BMKG Prediksi Hujan Turun di Beberapa Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, BMKG Prediksi Hujan Turun di Beberapa Wilayah
Pemerintah
Indonesia Dianggap Kena Jebakan di KTT COP30 karena Jual Karbon Murah
Indonesia Dianggap Kena Jebakan di KTT COP30 karena Jual Karbon Murah
LSM/Figur
Rafflesia, Tesso Nilo, dan Dua Wajah Hutan Indonesia di Media Sosial
Rafflesia, Tesso Nilo, dan Dua Wajah Hutan Indonesia di Media Sosial
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau