KOMPAS.com - Masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, menyerukan perlindungan keanekaragaman hayati di tanah leluhur pada Sabtu (26/10/2024) bertepatan dengan KTT Keanekaragaman Hayati COP16 di Cali, Kolombia.
Mewakili masyarakat Aru, Monika Maritjie Kailey turut hadir di Cali untuk menyuarakan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di wilayahnya.
Sementara itu, di Pulau Kumareri, Kepulauan Aru, para pemimpin adat dan pemuda Aru mengadakan aksi damai untuk mendukung upaya perlindungan keanekaragaman hayati dunia, terutama di wilayah mereka di Maluku.
Kepulauan Aru merupakan salah satu area kaya keanekaragaman hayati di Indonesia dengan 832 gugus pulau dan total luas daratan 800.000 hektare.
Di dalamnya terdapat 156.000 hektare mangrove, 550.000 hektare hutan tropis dataran rendah, 22.000 hektare padang sabana, 19.000 hektare padang lamun, dan 53.000 hektar terumbu karang.
Bahkan, 21 persen potensi perikanan nasional atau sekitar 771.600 ton per tahun ada di laut Aru.
Sayangnya, wilayah Kepulauan Aru tak pernah lepas dari ancaman yang merusak keanekaragaman hayati.
Monika menuturkan, masyarakat adat terbukti mampu menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati melalui praktik-praktik kearifan lokal dan budaya leluhur.
Baca juga: Brasil Gelar Konsultasi Masyarakat Adat untuk Penjualan Kredit Karbon Amazon
"Berkali-kali kami berhasil mempertahankan hutan dan laut kami dari ancaman industri ekstraktif yang masuk. Sudah saatnya pemerintah Indonesia dan masyarakat global mengakui peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati dengan memastikan mobilisasi sumber daya yang adil," ujar Monika dikutip dari siaran pers, Minggu (27/10/2024).
Koordinator Aksi Damai di Kepulauan Aru Johan Djamanmona mengatakan, menjaga Aru berarti menjaga kehidupan yang di dalamnya hidup manusia Aru.
"Jadi, aksi hari ini adalah bentuk perjuangan masyarakat adat dan pemuda Aru untuk menolak investasi yang merusak lingkungan Aru dan mendorong pemerintah pusat untuk mencabut segala izin eksploitasi hutan di Kepulauan Aru yang sudah ada," paparnya.
Dalam KTT Keanekaragaman Hayati COP16, negosiasi tentang pengakuan terhadap kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati berjalan cukup alot.
Salah satunya mengenai penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Baca juga: Masyarakat Adat Desak Pemerintah Hentikan Proyek “Food Estate” Merauke
Masyarakat adat di COP16 mendorong negara-negara yang hadir memastikan pengakuan penuh atas kontribusi masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia.
Selain itu, mereka juga mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen atau subsidiary body yang mengikat terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia berujar, sudah sewajarnya kontribusi masyarakat adat terhadap perlindungan keanekaragaman hayati di wilayahnya diakui secara penuh.
Catatan sejarah jelas memperlihatkan bahwa yang selama ini melindungi keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru adalah komunitas-komunitas masyarakat adat di sana.
"Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui keberadaan masyarakat adat dan kontribusinya terhadap perlindungan sumber daya alam," tutur Ogy.
Baca juga: Greenpeace: UU Konservasi Malah Pisahkan Peran Masyarakat Adat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya