KOMPAS.com - Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan oleh sejumlah ilmuwan iklim.
Mereka khawatir, kembalinya Trump ke tampuk pemerintahan AS bakal menjadi "pukulan telak" bagi aksi-aksi iklim.
Sebelumnya, Trump menyampaikan agenda iklim Pemerintahan Presiden AS Joe Biden sebagai penipuan hijau yang baru alias green new scam.
Baca juga: Pengurangan Produksi Daging Sapi di Negara Kaya Bantu Lawan Perubahan Iklim
Bila terpilih, Trump berjanji untuk menghentikan banyak kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintahan Biden.
Trump telah lama menganggap perubahan iklim sebagai hoaks. Dia juga mengabaikan ancaman iklim seperti naiknya permukaan air laut.
Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, Trump dengan blak-blakan mendorong ekspansi minyak dan gas (migas).
"We will drill, baby, drill (kita akan mengebor migas)," kata Trump dalam Fiserv Forum di Milwaukee, Wisconsin, 20 Juli 2024.
Para ahli khawatir bahwa janji Trump tersebut akan meningkatkan emisi di tengah upaya global untuk mengurangi perubahan iklim.
Baca juga: Pembiayaan Campuran Iklim meningkat Dua Kali Lipat pada 2023
"Hasil dari pilpres ini akan dilihat sebagai pukulan telak bagi aksi iklim global," kata mantan kepala iklim PBB dan arsitek Perjanjian Paris Christiana Figueres dalam sebuah unggahan di media sosial, Rabu (6/11/2024).
Akan tetapi, Figueres menegaskan terpilihnya Trump tidak akan menghentikan perubahan yang sedang berlangsung yakni dekarbonisasi ekonomi dan memenuhi tujuan Perjanjian Paris.
Dia menambahkan, terus menerus menggunakan migas sama saja tertinggal di dunia yang bergerak cepat ke energi terbarukan.
Figueres menuturkan, bahwa teknologi energi bersih akan terus mengalahkan bahan bakar fosil.
"Bukan hanya karena lebih sehat, lebih cepat, lebih bersih, dan lebih melimpah, tetapi karena teknologi ini melemahkan bahan bakar fosil di titik terlemahnya: volatilitas dan inefisiensinya yang tidak dapat diatasi," tutur Figueres, sebagaimana dilansir Euronews.
Baca juga: IPSASB Rilis Usulan Standar Pelaporan Iklim untuk Sektor Publik
Sebelumnya, analisis yang dilakukan Carbon Brief dari awal tahun ini memprediksi, kemenangan Trump dapat menghasilkan tambahan 4 miliar ton emisi AS pada 2030 dibandingkan dengan rencana Biden.
Angka tersebur setara dengan gabungan emisi tahunan Uni Eropa dan Jepang atau 140 negara dengan emisi paling rendah di dunia.
Analisis tersebut juga menunjukkan, tambahan emisi tersebut setara dengan emisi yang sudah dipangkas oleh penggunaan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan teknologi bersih lainnya di seluruh dunia selama lima tahun terakhir.
Di satu sisi, AS merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam hal pendanaan iklim global, meski juga menjadi negara penghasil emisi terbesar kedua di dunia.
Pendanaan tersebut mengalami pemotongan besar-besaran selama masa jabatan Trump sebelumnya.
Dan keluarnya AS dari Perjanjian Paris dapat berdampak besar pada keseluruhan proses pembicaraan iklim PBB.
Dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris, tekanan bagi negara lain untuk meningkatkan ambisi mereka menjadi jauh lebih kecil. Efek domino akan terjadi.
Baca juga: Citra Satelit Bisa Bantu Lindungi Hutan Pesisir dari Perubahan Iklim
CEO European Climate Foundation sekaligus arsitek utama Perjanjian Paris Laurence Tubiana mengatakan, tidak diragukan lagi bahwa kemenangan Trump merupakan "pukulan" dalam perang melawan krisis iklim.
Perubahan haluan dalam dukungan terhadap teknologi bersih dan investasi hijau di era kepemimpinan Trump mendatang dapat membahayakan keuntungan iklim.
Akan tetapi, Tubiana menegaskan Perjanjian Paris lebih kuat daripada kebijakan negara mana pun.
"Saya pikir dan berharap tidak ada negara lain yang akan mengikuti jika AS menarik diri dari Perjanjian Paris. Mereka tahu transisi ini demi kepentingan mereka sendiri, demi keamanan dan ekonomi mereka," tutur Tubina.
Tubiana mengatakan, sekaranglah saatnya bagi Eropa untuk melangkah maju karena kewajiban moralnya sekaligus juga untuk kepentingan strategis.
"Ini adalah momen bagi Eropa untuk memperkuat kepemimpinannya di panggung global, dalam kemitraan yang erat dengan pihak lain. Beberapa tahun ke depan sangat penting, dan Eropa harus terus maju demi warga negaranya dan planet ini. COP29 masih penting dan saya yakin hasil yang positif dapat dicapai," katanya.
Baca juga: Kota-kota Besar Dunia Terancam Bencana Iklim, Jakarta dan Surabaya Termasuk
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya