Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Big Tech Beralih ke Energi Nuklir untuk Penuhi Teknologi AI

Kompas.com - 13/11/2024, 16:00 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber CNBC

KOMPAS.com-Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan gelombang investasi pusat data akan makin meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Ini didorong oleh digitalisasi yang terus berkembang dan penggunaan AI generatif.

Namun prospek ini memicu kekhawatiran mengenai permintaan listrik serta dampak lingkungan yang sering kali diabaikan tetapi sangat penting.

Hal tersebut kemudian mendorong perusahaan teknologi raksasa (big tech) untuk mempertimbangkan cara terbaik mendukung perkembangan itu, salah satu opsinya adalah dengan beralih ke energi nuklir.

Seperti dikutip dari CNBC, Rabu (13/11/2024) Microsoft dan Google termasuk di antara perusahaan yang menyetujui kesepakatan untuk membeli tenaga nuklir dari pemasok tertentu di AS guna menyediakan kapasitas energi tambahan untuk pusat datanya.

Baca juga:

"Jaringan listrik membutuhkan sumber energi yang bersih dan andal yang dapat mendukung pembangunan teknologi," kata Michael Terrell, direktur senior energi dan iklim di Google.

"Kami merasa nuklir dapat memainkan peran penting dalam membantu memenuhi permintaan kami, dan membantu memenuhi permintaan kami dengan bersih, dengan cara yang lebih berkelanjutan," paparnya lagi.

Google mengatakan reaktor nuklir pertamanya dari Kairos Power akan beroperasi pada tahun 2030, dengan lebih banyak reaktor yang beroperasi hingga tahun 2035.

Raksasa teknologi itu bukan satu-satunya perusahaan yang mengandalkan tenaga nuklir untuk mewujudkan ambisi AI-nya.

September lalu, Microsoft menandatangani kesepakatan dengan perusahaan energi AS Constellation untuk menghidupkan kembali reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Three Mile Island di Pennsylvania yang sudah tidak beroperasi.

Sementara itu Amazon juga turut menggelontorkan kesepakatan senilai 500 juta dollar AS dengan Dominion Energy untuk mengeksplorasi pengembangan reaktor nuklir modular kecil di dekat pembangkit listrik tenaga nuklir North Anna milik perusahaan utilitas itu.

Alasan Beralih ke Nuklir

Perusahaan teknologi saat ini berada di bawah tekanan untuk menemukan sumber energi guna menggerakkan pusat data yang merupakan bagian penting dari infrastruktur di balik komputasi awan dan aplikasi AI masa kini.

Raksasa teknologi sendiri telah diuntungkan oleh lonjakan minat pada aplikasi AI generatif seperti ChatGPT milik OpenAI.

Namun, peningkatan permintaan itu juga menyebabkan efek yang tidak diinginkan yaitu lonjakan besar dalam jumlah energi yang dibutuhkan.

Konsumsi listrik global dari pusat data, kecerdasan buatan, dan sektor mata uang kripto diperkirakan akan berlipat ganda dari sekitar 460 terawatt-jam (TWh) pada tahun 2022 menjadi lebih dari 1.000 TWh pada tahun 2026, menurut laporan penelitian dari Badan Energi Internasional.

Baca juga:

Para peneliti di University of California, Riverside, menerbitkan sebuah studi pada bulan April 2023 menemukan bahwa ChatGPT mengonsumsi 500 mililiter air untuk setiap 10 hingga 50 perintah, tergantung pada kapan dan di mana model AI diterapkan. Itu setara dengan jumlah air dalam botol standar 16 ons.

Sementara hingga bulan Agustus, ada lebih dari 200 juta orang yang mengirimkan pertanyaan pada chatbot populer OpenAI ChatGPT setiap minggu.

Jumlah tersebut dua kali lipat dari 100 juta pengguna aktif mingguan yang dilaporkan OpenAI November 2023.

Kontroversi Nuklir

Energi nuklir bukannya tanpa kontroversi. Banyak aktivis iklim menentang pasokan tersebut, dengan alasan risiko lingkungan dan keselamatan yang berbahaya, dan fakta bahwa mereka tidak menawarkan sumber daya terbarukan yang sesungguhnya.

Di sisi lain, para pendukung energi nuklir mengatakan bahwa energi nuklir menawarkan bentuk listrik yang hampir bebas karbon dan lebih andal daripada sumber terbarukan seperti tenaga surya dan angin.

Baca juga: Roadshow di Bandung, SRECharged Dorong Percepatan Adopsi Motor Listrik Tanah Air

“Jika dibangun dan disekuritisasi dengan cara yang benar, saya pikir nuklir adalah masa depan,” Rosanne Kincaid-Smith, kepala operasi Northern Data Group, penyedia pusat data global.

“Orang-orang takut pada nuklir karena bencana yang pernah terjadi di masa lalu. Namun, yang akan datang, saya tidak melihat jaringan listrik tradisional menjadi sumber daya berkelanjutan yang sedang berlangsung dalam pengembangan AI,” Kincaid-Smith menambahkan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau