JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia dan Kanada, menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) terkait kerja sama mineral kritis dan transisi energi.
Kesepakatan itu meliputi penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui teknologi bersih, serta penguatan perdagangan maupun investasi sektor pertambangan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, kerja sama diperlukan untuk kebutuhan energi Indonesia yang makin meningkat.
Baca juga:
"Listrik kita saat ini sebesar 91 gigawatt dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 60 persen,” kata Bahlil dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2024).
“Target Presiden Prabowo untuk pertumbuhan ekonomi ke depan adalah 8 persen. Sehingga kami memerlukan tambahan 61 gigawatt untuk mendukung target tersebut,” imbuh dia.
Menurut Bahlil, saat ini pemerintah tengah fokus pada transisi energi. Dia kemudian menyampaikan bahwa transisi energi menjadi fokus utama pemerintah Indonesia.
Karenanya, Kementerian ESDM menargetkan 60 persen energi baru terbarukan (EBT) dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL)
“Kami berkomitmen untuk mencapai net zero emisi pada 2060, bahkan mendorong agar bisa lebih cepat pada tahun 2050,” ungkap Bahlil.
Sementara itu, Menteri Promosi Ekspor, Perdagangan Internasional, dan Pembangunan Ekonomi Kanada Mary Ng menyatakan dukungan negaranya terhadap transisi energi berkelanjutan di Indonesia.
“Ini termasuk pendanaan iklim global kami sebesar 5,3 miliar dolar Kanada, termasuk Indonesia selama lima tahun terakhir,” papar Mary Ng.
Dia menjelaskan, Kanada juga mendukung proyek-proyek utama dengan Bank Pembangunan Asia. Proyek itu antara lain pembangkit listrik tenaga panas bumi Sarulla di Sumatera Utara, dan pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Sulawesi Selatan dan Lombok.
Mary mengungkapkan, kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP), bertujuan memobilisasi pembiayaan publik dan swasta hingga 20 miliar dollar AS untuk mendukung transisi energi Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Bahlil meyakini potensi kerja sama di sektor nuklir antara Indonesia dengan Kanada. Sebab, ujar dia, pengembangan nuklir di Kanada dinilai lebih maju.
“DPR telah menyetujui penggunaan tenaga nuklir, dan kami menargetkan regulasinya selesai pada 2025. Implementasinya akan dimulai secara bertahap pada 2032," sebut dia.
Baca juga: Ini 9 Rekomendasi untuk Dorong Percepatan Transisi Energi Berkeadilan
Bahlil kemudian menyoroti peluang transisi energi dari PLTA. Indonesia memiliki PLTA di Kalimantan yakni sungai Kayan sebesar 12 gigawatt dan di Papua sebesar 23 gigawatt.
“Ini adalah peluang besar untuk mendukung transisi energi," tuturnya.
Dia pun menekankan pentingnya keseimbangan antara teknologi canggih dengan harga yang ekonomis.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya