KOMPAS.com - Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Air Retno Marsudi mengatakan, kesadaran dunia terhadap krisis air masih sangat kurang.
Padahal, air menjadi kebutuhan yang paling mendasar dan saat ini dunia benar-benr menghadapi krisis air.
Mantan Menteri Luar Negeri RI tersebut menyampaikan, kurangnya kesadaran mengenai krisis air terjadi di berbagai level, mulai dari pemimpin negara sampai masyarakat.
Baca juga: Ini Strategi Pemprov Jakarta Penuhi 100 Persen Kebutuhan Air Bersih di 2030
"Orang-orang bilang kita krisis energi dan krisis pangan. Tapi jarang yang mengatakan kalau kita krisis air," kata Retno saat ditemui Kompas.com di tempat gelaran Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Convention to Combat Desertification (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, Rabu (4/12/2024).
Karena kurangnya kesadaran tersebut, pendekatan untuk mengatasi solusinya menjadi terfragmentasi dan berceceran.
Untuk itu, Retno menuturkan ada tiga aksi yang perlu diprioritaskan agar komunitas internasional sama-sama memiliki kesadaran mengatasi krisis air.
Ketiga aksi tersebut yakni advocate atau mengadvokasi, aligning atau menghubungkan, dan accelerate atau mempercepat.
Mengadvokasi bertujuan untuk mendorong pemimpin dunia meletakkan air sebagai agenda politik yang tinggi.
Baca juga: Mengenal “Ugly Fruit”, Si Buruk Rupa yang Punya Peluang Ekonomi di Tanah Air
Sedangkan menghubungkan bertujuan untuk menjalin berbagai inisiatif, baik yang kecil atau besar, menjadi dan mengarah ke satu tujuan.
"Sedangkan accelerate bertujuan untuk mempercepat implementasi komitmen-komitmen yang ada," papar Retno.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, krisis air yang melanda dunia bakal mengancam ketahanan pangan global.
Pasalnya, lebih dari separuh produksi pangan dunia akan terancam gagal panen dalam 25 tahun ke depan karena krisis air yang semakin parah .
Temuan tersebut mengemuka dalam laporan dari terbaru Global Commission on the Economics of Water yang dirilis Rabu (17/10/2024).
Baca juga: Pakar: Solusi Berbasis Alam Jadi Cara Dukung Manajemen Air
Saat ini, setengah dari populasi dunia sudah menghadapi kelangkaan air. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat seiring memburuknya krisis iklim.
Di satu sisi, permintaan air bersih akan melampaui pasokan yang ada sebesar 40 persen pada 2030, sebagaimana dilansir The Guardian.
Global Commission on the Economics of Water menyebutkan, pemerintah dan para ahli masih sangat meremehkan jumlah air yang dibutuhkan orang untuk menjalani kehidupan yang layak.
Untuk kebersihan dan kesehatan, setiap orang membutuhkan sekitar 4.000 liter per hari untuk mendapatkan gizi yang cukup dan kehidupan yang bermartabat.
Di sisi lain, tidak ada negara dan wilayah yang kebal dari ancaman kekeringan. Dari negara maju, negara kaya, negara dengan banyak hutan, bahkan negara di kawasan gurun menghadapi ancaman yang sama.
Baca juga: Pakar: Solusi Berbasis Alam Jadi Cara Dukung Manajemen Air
Dalam tiga tahun saja, ada lebih dari 30 negara yang pernah mendeklarasikan darurat kekeringan.
Sejumlah ahli menyerukan agar dunia melakukan berbagai tindakan terhadap kekeringan mulai dari antisipasi, mempersiapkan diri, hingga beradaptasi.
Direktur United Nations University Institute for Water Environment Health (UNU INWEH) Kaveh Madani mengatakan, dunia terlalu sering menyebut kekeringan sebagai anomali, bencana, dan kondisi ekstrem.
Kenyataannya, selama beberapa waktu terakhir kekeringan menjadi lebih sering terjadi.
Baca juga: Roadshow di Bandung, SRECharged Dorong Percepatan Adopsi Motor Listrik Tanah Air
Dia menambahkan, banyak dari situasi kekeringan air kini bersifat permanen dan menjadi new normal alias hal yang biasa.
"Ini berarti sangat penting bagi kita untuk mengambil tindakan guna mempersiapkan diri dan beradaptasi dengan kekeringan yang lebih parah," kata Madani dikutip dari situs web UNCCD.
Dia menambahkan, peristiwa kekeringan yang terjadi saat ini merupakan kejadian yang berkelanjutan, bukan sebuah peristiwa yang terbatas pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Madani berujar, kekeringan memiliki dampak lanjutan serius yang bisa memicu efek domino.
Baca juga: Jumlah Mikroplastik di Air Tawar Meningkat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya