Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 5 Desember 2024, 08:11 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Air Retno Marsudi mengatakan, kesadaran dunia terhadap krisis air masih sangat kurang.

Padahal, air menjadi kebutuhan yang paling mendasar dan saat ini dunia benar-benr menghadapi krisis air.

Mantan Menteri Luar Negeri RI tersebut menyampaikan, kurangnya kesadaran mengenai krisis air terjadi di berbagai level, mulai dari pemimpin negara sampai masyarakat.

Baca juga: Ini Strategi Pemprov Jakarta Penuhi 100 Persen Kebutuhan Air Bersih di 2030

"Orang-orang bilang kita krisis energi dan krisis pangan. Tapi jarang yang mengatakan kalau kita krisis air," kata Retno saat ditemui Kompas.com di tempat gelaran Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Convention to Combat Desertification (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, Rabu (4/12/2024).

Karena kurangnya kesadaran tersebut, pendekatan untuk mengatasi solusinya menjadi terfragmentasi dan berceceran.

Untuk itu, Retno menuturkan ada tiga aksi yang perlu diprioritaskan agar komunitas internasional sama-sama memiliki kesadaran mengatasi krisis air.

Ketiga aksi tersebut yakni advocate atau mengadvokasi, aligning atau menghubungkan, dan accelerate atau mempercepat.

Mengadvokasi bertujuan untuk mendorong pemimpin dunia meletakkan air sebagai agenda politik yang tinggi.

Baca juga: Mengenal “Ugly Fruit”, Si Buruk Rupa yang Punya Peluang Ekonomi di Tanah Air

Sedangkan menghubungkan bertujuan untuk menjalin berbagai inisiatif, baik yang kecil atau besar, menjadi dan mengarah ke satu tujuan.

"Sedangkan accelerate bertujuan untuk mempercepat implementasi komitmen-komitmen yang ada," papar Retno.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya, krisis air yang melanda dunia bakal mengancam ketahanan pangan global.

Pasalnya, lebih dari separuh produksi pangan dunia akan terancam gagal panen dalam 25 tahun ke depan karena krisis air yang semakin parah .

Temuan tersebut mengemuka dalam laporan dari terbaru Global Commission on the Economics of Water yang dirilis Rabu (17/10/2024).

Baca juga: Pakar: Solusi Berbasis Alam Jadi Cara Dukung Manajemen Air

Saat ini, setengah dari populasi dunia sudah menghadapi kelangkaan air. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat seiring memburuknya krisis iklim.

Di satu sisi, permintaan air bersih akan melampaui pasokan yang ada sebesar 40 persen pada 2030, sebagaimana dilansir The Guardian.

Global Commission on the Economics of Water menyebutkan, pemerintah dan para ahli masih sangat meremehkan jumlah air yang dibutuhkan orang untuk menjalani kehidupan yang layak.

Untuk kebersihan dan kesehatan, setiap orang membutuhkan sekitar 4.000 liter per hari untuk mendapatkan gizi yang cukup dan kehidupan yang bermartabat.

Di sisi lain, tidak ada negara dan wilayah yang kebal dari ancaman kekeringan. Dari negara maju, negara kaya, negara dengan banyak hutan, bahkan negara di kawasan gurun menghadapi ancaman yang sama.

Baca juga: Pakar: Solusi Berbasis Alam Jadi Cara Dukung Manajemen Air

Dalam tiga tahun saja, ada lebih dari 30 negara yang pernah mendeklarasikan darurat kekeringan.

Sejumlah ahli menyerukan agar dunia melakukan berbagai tindakan terhadap kekeringan mulai dari antisipasi, mempersiapkan diri, hingga beradaptasi.

Direktur United Nations University Institute for Water Environment Health (UNU INWEH) Kaveh Madani mengatakan, dunia terlalu sering menyebut kekeringan sebagai anomali, bencana, dan kondisi ekstrem.

Kenyataannya, selama beberapa waktu terakhir kekeringan menjadi lebih sering terjadi.

Baca juga: Roadshow di Bandung, SRECharged Dorong Percepatan Adopsi Motor Listrik Tanah Air

Dia menambahkan, banyak dari situasi kekeringan air kini bersifat permanen dan menjadi new normal alias hal yang biasa.

"Ini berarti sangat penting bagi kita untuk mengambil tindakan guna mempersiapkan diri dan beradaptasi dengan kekeringan yang lebih parah," kata Madani dikutip dari situs web UNCCD.

Dia menambahkan, peristiwa kekeringan yang terjadi saat ini merupakan kejadian yang berkelanjutan, bukan sebuah peristiwa yang terbatas pada suatu tempat dan waktu tertentu.

Madani berujar, kekeringan memiliki dampak lanjutan serius yang bisa memicu efek domino.

Baca juga: Jumlah Mikroplastik di Air Tawar Meningkat

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau