KOMPAS.com - Ada kesenjangan yang cukup lebar mengenai isu transisi energi di media massa dan audiens secara umum sepanjang 2024.
Temuan tersebut mengemuka dalam studi terbaru Yayasan Indonesia Cerah berjudul Kaleidoskop Isu Energi dan Iklim di Media Digital Tahun 2024.
Dalam studi tersebut, sebagian besar narasi tentang transisi energi dan iklim yang dimunculkan oleh media massa berfokus pada tokoh tingkat tinggi.
Baca juga: Transisi Energi Selalu Disuarakan, tapi Perusahaan Terus Bor Minyak dan Gas
Contohnya adalah Presiden RI ke-7 Joko Widodo dan Pasangan Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Selain itu, media massa juga mengulas isu tinggi seperti berbagai kebijakan dari pemerintah seperti peraturan presiden (prepres) atau peraturan menteri (permen).
Dalam temuan Yayasan Indonesia Cerah, sebagian besar narasi yang dibawa media massa berfokus pada kebijakan, figur, dan peristiwa makro yang kadang sulit dimengerti audiens awam.
Di sisi lain, pencarian audiens justru berfokus pada informasi mikro yang praktis, relevan secara lokal, dan sederhana.
Baca juga: Ini Pentingnya Jaringan Listrik Pintar untuk Transisi Energi Menurut Kementerian ESDM
Apa yang dicari audiens juga berkutat pada informasi dasar seperti definisi, dampak, implementasi energi terbarukan, dan teknis aplikasi energi terbarukan.
Sebagai contoh, kata kunci pencarian untuk "energi terbarukan" adalah seperti "contoh energi terbarukan", "energi terbarukan di Indonesia", dan " "potensi energi terbarukan di Indonesia".
Sedangkan kata kunci "krisis iklim" yang banyak dicari adalah "apa itu krisis iklim", "penyebab krisis iklim", dan "dampak krisis iklim".
Di media sosial (medsos), tempat berkumpulnya para audiens di dunia maya, perbincangan tentang isu transisi energi, sebagian besar dimulai oleh pemicu spesifik.
Contohnya saat debat calon presiden yang memunculkan berbagai istilah yang memantik rasa ingin tahu audiens.
Baca juga: Green Jobs Jadi Kunci Transisi Energi di Indonesia
Contoh pemicu spesifik lainnya adalah rekor suhu tertinggi di Makassar atau intimidasi terhadap aksi Global Climate Strike di Jakarta.
Dengan demikian, ada banyak narasi transisi energi yang dibawa oleh media massa namun tidak beresonansi di medsos.
"Hal ini mengindikasikan audiens medsos belum menganggap berita seputar kebijakan-kebijakan tersebut relevan bagi kehidupan mereka," tulis tim peneliti dalam studi tersebut.
Kendati demikian, tetap ada kelindan dalam beberapa topik. Contohnya kebijakan seputar tambang untuk organisasi masyarakat (ormas) yang mendapat perhatian serius oleh audiens di medsos, terutama di X (dulu Twitter).
Baca juga: Transisi Energi, Kerjasama Teknologi dengan China dan UAE Perlu
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya