Tanpa adanya lapisan tanah atas untuk meningkatkan retensi kelembaban di dalam tanah, perkebunan monokultur seperti sawit membutuhkan banyak air untuk mengairi tanaman. Ini berarti bahwa air dipompa dari sungai, danau, dan sumber air lainnya untuk mengairi perkebunan, sehingga menguras sumber air alami.
Pengurasan air ini juga terjadi di atas pencemaran sumber air oleh bahan kimia pertanian. Sebaliknya, hutan berfungsi sebagai daerah aliran sungai dan meningkatkan kualitas air dengan meminimalkan erosi dan menyaring polusi. Jadi, sangatlah berbeda peran hutan dengan perkebunan kelapa sawit hasil deforestasi.
Fiona McAlpine, Communications and Project Manager di The Borneo Project, juga pernah menegaskan bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikelola secara berkelanjutan seperti apa pun tetaplah bukan hutan.
"Monokultur industri ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keanekaragaman hayati yang kaya dan harmoni ekologis hutan asli," tulis McAlpine di laman Eco-Business.
Lahan sawit yang terdiri atas tanaman monokultur jelas sangat berbeda dengan lahan hutan dengan ragam puspa dan satwanya. McAlpine menegaskan, "Perbedaannya jelas, dan kita harus bertindak untuk melindungi apa yang tersisa dari ekosistem yang tak tergantikan ini sebelum terlambat." (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)
Baca juga: Petani Kecil Berperan Penting dalam Industri Kelapa Sawit, Perlu Distribusi Keuntungan yang Merata
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya