Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Evaluasi dan Proyeksi Pengelolaan Lingkungan di Era Krisis Iklim

Kompas.com - 06/01/2025, 14:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Batu bara menyumbang 38 persen, minyak bumi menyumbang 32 persen, dan gas alam menyumbang 19 persen. Sementara itu, sumber energi terbarukan hanya menyumbang 11,2 persen.

Selain aspek lingkungan, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil berdampak pada anggaran nasional dengan subsidi energi.

Kondisi empiris tersebut juga sejalan dengan temuan International Energy Agency yang dalam laporannya terhadap pelaksaan transisi energi di Indonesia menunjukan tingkat ketergantungan yang tinggi pada sektor batu bara, minyak dan gas bumi, serta perilaku industri yang buruk terhadap kontribusi GRK.

Kontribusi GRK lainnya dari Indonesia adalah dampak dari deforestasi yang kian masif. Global Forest Watch melaporkan bahwa laju hilangnya hutan primer terus menurun, termasuk di Indonesia.

Pada 2021, deforestasi menurun sebesar 25 persen atau 200.000 hektare, dibandingkan dengan 270.000 hektare lahan hutan primer pada tahun 2020, setara dengan 208 metrik ton (mt) emisi karbon.

Namun, deforestasi kumulatif Indonesia pada tahun 2021 sebesar 202.905 masih menduduki peringkat keempat di antara negara tropis setelah Brasil (1.548.657 hektare), Kongo (499.059 hektare), dan Bolivia (291.379 hektare).

Menurut Pusat Penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, deforestasi di Indonesia secara umum terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri, pembakaran lahan gambut, dan tata kelola pemanfaatan lahan yang buruk.

Deforestasi terbesar terjadi untuk perkebunan kelapa sawit, mencapai 23 persen. Bahkan pada tahun 2019, lebih dari 3 juta hektare kawasan hutan dialokasikan untuk produksi kelapa sawit - meskipun perkebunan dapat beroperasi secara legal di hutan produksi, mereka juga melintasi hutan konservasi dan hutan lindung.

Evaluasi kebijakan

Sebagai komitmen global dalam upaya pengurangan GRK, Indonesia pada konferensi perubahan iklim (COP 27) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang disempurnakan akan memangkas emisi GRK sebesar 31,9 persen kondisi normal pada tahun 2030, dan dengan bantuan internasional pengurangan mencapai 43,2 persen.

Upaya ini mencakup berbagai inisiatif, termasuk peningkatan penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, dan penerapan teknologi bersih di sektor energi.

Untuk menilai sejauh mana kesiapan adaptasi dan mitigasi tersebut, telah dilakukan penelitian oleh BRIN termasuk pengumpulan data lapangan di wilayah penghasil batu bara di Kalimantan Timur, serta lokasi pembangkit listrik yang besar seperti di Banten.

Catatan pertama adalah, dari analisis regulasi terkait dengan kesiapan dalam penurunan GRK ternyata Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus yang mendukung transisi menuju emisi nol bersih dalam kebijakan energinya sebagai payung atau kerangka energi yang adil di tingkat nasional.

Proses transisi energi hanya bergantung pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang bersifat makro dan tidak secara khusus mengatur transisi energi dan pengurangan GRK yang masih memfokuskan pada otonomi dan ketahanan energi nasional.

Undang-Undang No. 30/2007 sebagian besar berpusat pada sumber energi konvensional, undang-undang tersebut perlu direvisi agar mencakup energi terbarukan dan transisi energi yang lebih luas secara lebih komprehensif.

Undang-undang energi yang holistik harus mengintegrasikan tujuan politik (seperti ketahanan energi), faktor ekonomi (termasuk harga, subsidi, dan keterjangkauan), dan tujuan lingkungan (terutama menangani mitigasi perubahan iklim).

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau