Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Evaluasi dan Proyeksi Pengelolaan Lingkungan di Era Krisis Iklim

Kompas.com - 06/01/2025, 14:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Transisi energi hanya didasarkan pada cetak biru dan kebijakan energi yang terbatas, terutama dengan Kebijakan Energi Nasional melalui Peraturan Pemerintah 79/2014 terkait dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional.

Kedua, transisi energi masih menjadi komoditi dan pembahasan di level elit nasional dan belum diturunkan atau pelibatan secara masif kepada pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha selaku stakeholders kunci dari keberhasilan menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.

Sebagai gambaran, terdapat 1,3 juta pekerja atau 1 persen yang bekerja dalam sektor energi dan 2/3 di antaranya secara langsung terlibat dalam industri batu bara.

Pemerintah perlu memitigasi dampak dan menyediakan alternatif pekerjaan bagi mereka yang terdampak langsung dalam kebijakan transisi energi ini.

Demikian halnya, pemerintah daerah seperti Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil batu bara – mitigasi yang dilakukan adalah dengan beralih pada industri kelapa sawit dari tambang – yang secara ekologi juga memiliki kendala dalam keberlanjutan dan mendorong terjadinya deforestasi kian masif.

Ketiga, beberapa kebijakan pada sektor kehutanan seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Regulasi tersebut menjadi salah satu landasan pembukaan kawasan hutan konservasi dengan maksud untuk pembangunan pertanian skala besar.

Implikasinya maka kuantitas hutan sebagai kawasan proteksi maupun konsevasi akan semakin berkurang, termasuk pengaruhnya terhadap penurunan keanekaragaman hayati.

Keempat, belum adanya mekanisme pengukuran dampak ataupun benefit terhadap peluncuran program Folu Net Sink 2030 sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Penetapan Harga Karbon dalam Rangka Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Folu Net Sink 2030 di antaranya bertujuan mengurangi GRK melalui upaya menahan laju deforestasi pada ekosistem hutan lahan kering (hutan tanah mineral), lahan gambut dan mangrove.

Kelima, peningkatan kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada periode 2014-2024 mencatat ribuan orang pejuang lingkungan hidup dikriminalisasi, yakni 1.086 laki-laki dan 34 perempuan, bahkan 11 orang masih anak-anak.

Sebanyak 544 orang di antaranya berlanjut ke meja hijau. Ragam pasal yang paling banyak menjerat mereka adalah (a) Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan tuduhan melakukan kekerasan saat aksi demonstrasi; (b) Pasal 335 KUHP yang biasanya berkaitan dengan pencurian di perkebunan; dan (c) Pasal 28 atau Pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang biasanya dituduh menyebar berita bohong melalui media sosial.

Merespons dinamika tersebut, Menteri LHK menerbitkan Peraturan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Namun nyatanya sampai saat ini jerat terhadap aktivis lingkungan tetap berlangsung.

Dalam upaya penurunan GRK dan kontribusi Indonesia dalam kehidupan global yang bertujuan mempertahankan eksistensi manusia serta bumi sebagai pelaksanaan prinsip intergenerational justice, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi mengenai kebutuhan pembangunan infrastruktur kebijakan, mengingat sudah tidak mampunyai kerangka hukum yang tersedia untuk menjadi “social tools” dalam adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim.

Langkah kedua yang harus ditempuh adalah melakukan evaluasi terhadap program, kebijakan dan tahapan dalam pengurangan GRK serta pemanfaatkan energi baru dan terbarukan yang berkelanjutan sebagai prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2024-2045.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau