KOMPAS.com - Peneliti telah menemukan bahwa industri pakaian global ternyata menghasilkan jutaan ton plastik yang mencemari lingkungan setiap tahun. Jumlahnya bahkan akan semakin banyak seiring berjalannya waktu.
Selama ini kita mungkin tidak menyadari bahwa pakaian yang kita kenakan mengandung plastik.
Nyatanya, dalam sehelai baju itu terdapat kandungan seperti poliester, nilon, akrilik, dan serat sintetis lainnya. Hal ini membuat tekstil menjadi sumber polusi plastik yang terabaikan.
Dikutip dari Futurity, Selasa (7/1/2025) sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Communications menemukan bahwa konsumsi pakaian global pada 2019 menghasilkan lebih dari 20 juta ton limbah plastik.
Dari jumlah tersebut sekitar 40 persen limbah kemungkinan tidak dikelola dengan baik dan menjadi polusi lingkungan, suatu proses yang dikenal sebagai 'kebocoran plastik'.
Baca juga:
"Dari penelitian sebelumnya, saya mengetahui bahwa industri pakaian adalah konsumen utama polimer sintetis, alias plastik, tetapi saya terkejut dengan seberapa banyak limbah pakaian sintetis yang berakhir di lingkungan alam,” kata rekan penulis Roland Geyer, seorang profesor di Bren School of Environmental Science & Management, University of California, Santa Barbara.
Dalam penelitian ini, peneliti membagi limbah tekstil menjadi dua sumber: pakaian yang terbuat dari bahan sintetis dan pakaian yang terbuat dari katun dan serat alami lainnya.
Peneliti kemudian mengamati limbah plastik yang dihasilkan di seluruh rantai nilai produk pakaian yang mengacu pada seluruh siklus hidup suatu produk, tidak hanya pakaian itu sendiri tetapi juga plastik yang digunakan untuk membungkusnya.
“Kami menganalisis data tentang impor, ekspor, dan produksi pakaian di negara-negara di seluruh dunia,” kata rekan penulis Richard Venditti, seorang profesor ilmu dan teknik kertas di North Carolina State University, AS.
Peneliti kemudian membandingkannya dengan informasi global yang ada pada berbagai tahap rantai nilai pakaian untuk memperkirakan berapa banyak plastik yang bocor ke lingkungan di setiap titik tersebut.
“Kebocoran plastik dari industri pakaian jadi didominasi oleh pakaian sintetis yang sudah tidak lagi bisa dipakai dan tidak dibuang dengan cara yang bertanggung jawab,” kata Geyer.
Namun ada juga limbah dari pabrik, pengemasan, dan bahkan dari abrasi ban selama pengangkutan serta mikroplastik yang tercecer ke air saat kita mencuci pakaian.
Peneliti kemudian mencatat pakaian sintetis sejauh ini merupakan sumber limbah plastik terbesar.
Rantai nilai sintetis menyumbang 18 juta ton limbah pada 2019, yang merupakan 89 persen dari semua limbah plastik dari industri pakaian jadi global tahun itu.
Dari jumlah tersebut, para peneliti memperkirakan sekitar 8,3 juta ton mungkin telah bocor ke lingkungan.
Baca juga:
Sementara itu, pakaian katun menyumbang 1,9 juta ton limbah plastik, dengan 0,31 juta ton terakhir berasal dari serat selain tekstil sintetis atau katun.
Namun sampah plastik yang dihasilkan dari pakaian katun dan serat hampir seluruhnya berasal dari plastik yang digunakan dalam kemasan.
Lebih lanjut, peneliti menyebut tempat penjualan pakaian tidak selalu sama dengan tempat berakhirnya sampah plastik.
Untuk pakaian yang awalnya dijual di negara-negara berpendapatan tinggi, seperti Amerika Serikat dan Jepang, sering kali berakhir di negara lain yang berpendapatan rendah dan tidak memiliki sistem pengelolaan limbah yang cukup karena mungkin dijual di pasar sekunder.
Di situlah sejumlah besar plastik bocor ke lingkungan.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa perubahan signifikan di sektor pakaian jadi perlu dilakukan untuk menggerakkan industri menuju kerangka kerja yang lebih sirkular, di mana bahan-bahan didaur ulang dan tidak menjadi limbah.
Studi tersebut juga merekomendasikan peningkatan penggunaan tekstil non-sintetis yang dapat diperbarui.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya